Program Pemerintah Atasi Persoalan Orang Miskin Gagal

Program Pemerintah Atasi Persoalan Orang Miskin Gagal

- in DAERAH, NASIONAL, POLITIK
1245
0
Program Pemerintah Atasi Persoalan Orang Miskin Gagal.

Pemerintahan Jokowi dianggap telah gagal mengatasi persoalan kemiskinan. Karena itu, diusulkan segera perlu dilakukan perombakan ulang Basis Data Terpadu (BDT) orang miskin.

 

Ketua Umum Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Marlo Sitompul juga menekankan perlu segera mengubah batasan garis kemiskinan yang selama ini diukur dengan penghasilan 1 dolar amerika per hari, menjadi 2 dolar amerika per hari.

 

“Masyarakat miskin perlu dilibatkan dalam penetapan BDT dan garis kemiskinan,” tutur Marlo Sitompul, dalam siaran persnya,  Kamis (08/03/2018).

 

Selain itu, SPRI juga menuntut agar diperbesarnya anggara Bantuan Sosial (Bansos) untuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Beras Sejahtera (Rastra).

 

“Alihkan Dana Hutang Luar Negeri untuk Bansos PKH-RASTRA,” ujarnya.

 

Selama belasan tahun persoalan mengatasi kemiskinan di Indonesia, menurut dia, tidak kunjung memiliki perbaikan. Bahkan, predikat gagal layak disebutkan kepada pemerintah. Karena itulah menurut Marlo, rakyat memerlukan perlindungan sosial yang transformatif.

 

Dia menjelaskan, berbagai program bantuan tunai dan pangan untuk rakyat miskin, diantaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan program Beras Sejahtera (Rastra) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). PKH adalah program bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), sementara Rastra atau BPNT adalah bantuan pangan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

 

Marlo menjelasakan, untuk memberikan program PKH dan Rastra, pemerintah melakukan klasifikasi/penggolongan keluarga miskin berangkat dari survei BPS dan Kemensos. Kemudian, dibuat peringkat kesejahteraan mengacu padadata survei tersebut, di mana 40% ekonomi/pendapatan terendah digolongkan sebagai rumah tangga miskin.

 

Dari golongan ini ditetapkan lagi 10% lapisan pendapatan terendah sebagai keluarga “sangat miskin” yang berhak mendapatkan PKH.Sementara lapisan 25% terendah ditetapkan sebagai peringkat keluarga “sangat miskin dan miskin” yang berhak mendapatkan Rastra.

 

Sisanya, 15% pendapatan terbesar (diantara 40% data rumah tangga miskin)ditetapkan sebagai lapisan “hampir miskin” dan dianggap tidak pantas menerima PKH dan Rastra.

 

“Kedua program ini mengandung banyak masalah,” ujarnya.

 

Pertama, manfaat kedua program ini sangat kecil karena tidak bisa menutup beban ekonomi rumah tangga miskin. Nilai bantuan Rastra hanya Rp110.000 per bulan yang dapat ditukar dengan beras, telur, dan lain sebagainya. Sementara jumlah bantuan PKH hanya sebesar Rp1.800.000 per tahun sampai dengan Rp3,6 juta per tahun, tergantung dari jumlah anak.

 

“Bagaimana mungkin jumlah ini mencukupi mahalnya kebutuhan pokok sehari-hari?” ujarnya.

 

Ini karena dana yang digunakan untuk membiayai program ini pun terbilang cukup kecil. Uang Negara yang digunakan untuk membiayai kedua program ini hanya Rp21,3 triliun. Bandingkan, misalnya, dengan total pembayaran cicilan utang pemerintah pada Januari-Juli 2017 yang sebesar Rp347,6 triliun.

 

“Atau bandingkan dengan alokasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur pada 2017 sebesar Rp380 triliun. Jumlah anggaran untuk program rakyat miskin ini jauh di bawah anggaran untuk pembayaran cicilan utang Negara dan pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

 

Kedua, program PKH dan Rastra tidak menjangkau seluruh rakyat miskin. Mengacu pada survei ditetapkan hanya ada 28,4 juta keluarga miskin (setara dengan 96 juta jiwa). Tahun 2018 ini, memang pemerintahan Jokowi menambah jumlah penerima PKH menjadi 10 juta keluarga sangat miskin.

 

Adapun penerima Rastra sebanyak 15,5 juta keluarga miskin.Penambahan jumlah penerima PKH ini berkaitan dengan bertambahnya jumlah anggaran di Kementerian Sosial RI. Namun penambahan jumlah penerima manfaat tersebut sebetulnya justru mencerminkan ketidakakuratan data rakyat miskin dan klasifikasi berdasarkan peringkat kesejahteraan yang digunakan saat ini.

 

“Cara mengklasifikasi rakyat miskin saat ini tidak tepat dan cenderung mencerminkanpemerintah berusaha membatasi sekaligus mengutak atik penerima program agar sesuai dengan alokasi anggaran yang kecil,” ujarnya.

 

Buktinya bisa dilihat dengan mudah di tengah keadaan ekonomi saat ini. Perbedaan beban hidup warga yang hampir miskin dan miskin sangat tipis. Terjadi sedikit saja kenaikan harga, maka keluarga yang disebut “hampir miskin” itu akan tergelincir ke dalam kemiskinan.

 

Selain itu, angka 40% keluarga miskin dari seluruh jumlah penduduk Indonesia juga bisa dipertanyakan, mengingat banyak kalangan akademisi dan peneliti yang meragukan metode pemerintah dalam menentukan jumlah keluarga miskin.

 

Ketiga, Survei yang dilakukan pemerintah untuk menetapkan angka miskin pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat miskin.

 

Berdasarkan penelusuran lapangan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) terhadap data penerima PKH dan Rastra, ditemukan banyak masalah dalam survei pemerintah. Misalnya, sebagian besar warga miskin tidak pernah mengetahui kapan survei dilakukan oleh Kementrian Sosial dan lembaga terkait.

 

“Warga menduga survei hanya mengandalkan informasi yang didapat dari RT atau tokoh masyarakat,” kata Marlo.

 

Cara survei yang tidak melibatkan warga miskin ini tidak sesuai aturan. UU No. 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin menyatakan bahwa seorang fakir miskin yang belum terdapat dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa di tempat tinggalnya.

 

Dengan kata lain, rakyat miskin harus dilibatkan dalam hal pengumpulan data rumah tangga yang akan dijadikan acuan dalam menetapkan penerima program.

 

Rakyat miskin juga berhak dilibatkan dalam hal proses perbaikan dan penambahan data calon penerima program.

 

Keempat, program ini rentan penyelewengan karena Kementrian Sosial tidak mengumumkan kepada rakyat miskin tata cara atau mekanisme untuk mendapatkan program PKH dan Rastra.

 

Begitu pula, rakyat miskin minim informasi tentang detail bantuan apa saja yang didapat dari PKH dan Rastra. Kemudian, terdapat ketidakjelasan aturan terhadap penyelenggara e-Warung melalui mana Rastra disalurkan, sehingga menyebabkan detail nilai transaksi saat penyaluran tidak diketahui penerima.

 

Sekjen SPRI  Dika Moehammad menambahkan, salah satu bentuk penyelewengan yang pernah ditemukan SPRI adalah adanya data penerima PKH-Rastra yang tidak sesuai dengan kategori miskin.

 

Jadi, kata dia, ada keluarga yang terbilang mampu menerima PKH-Rastra. Ini terjadi karena pendataan dilakukan secara kongkalikong (diatur secara tidak adil oleh pejabat pemerintah).

 

“Dan jika ada kesalahan pendataan seperti ini, rakyat miskin tidak mengetahui bagaimana caranya memperbaiki data tersebut. Begitu pula, tidak ada mekanisme yang jelas bagi rakyat miskin untuk melaporkan penyelewengan. Pengaduan oleh rakyat miskin sering diabaikan dan tidak mendapat respons,” ujar Dika.

Dika menganggap program PKH dan Rastra bukanlah program yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Program PKH dan Rastra tampaknya hanya merupakan program lips service untuk pencitraan pemerintah, tetapi tidak sungguh-sungguh ditujukan untuk mengatasi kemiskinan.

 

“Sebagai ganti dari PKH dan Rastra, rakyat miskin memerlukan program perlindungan sosial yang bersifat partisipatif dan bisa betul-betul mentransformasikan atau mengubah kehidupan rakyat miskin dari miskin menjadi tidak miskin. Solusi buat rakyat miskin bukanlah PKH dan Rastra seperti saat ini, tapi Perlindungan Sosial Transformatif,” pungkas Dika.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Tak Mempan Jalur ‘Soft’, Banthe Bodhi Setuju ‘Main Keras’ Untuk Hentikan Sepak Terjang Biksuni Eva alias Suhu Vira Vasu dan ‘Biksu Liar’ Lainnya

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) yakni