Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan maraknya praktik ujaran kebencian dan intoleransi dalam proses Pilkada Serentak 2018 bisa mengancam Indonesia. Karena itu, Komnas HAM mengingatkan agar berdemokrasi dengan mengedepankan HAM.
Sejauh ini, Komnas HAM sudah memprediksi praktik ujaran kebencian dan intoleransi akan mewarnai pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Komnas HAM sendiri menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap praktik-praktik tersebut sekaligus mengingatkan kembali kepada masyarakat soal demokrasi yang berbasis HAM.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menuturkan menghadapi Pilkada Serentak 2018 pihaknya akanmemfokuskan pengawasan pada praktik-praktik ujaran kebencian dan intoleransi yang mungkin timbul.
“Komnas HAM berharap, para peserta pilkada tidak melakukan hal itu demi merebut perhatian calon pemilih,” katanya di Jakarta, Senin (23/01/2018).
Dia juga akan menyerahkan usulan indikator HAM yang bisa jadi acuan bagi KPU dan Bawaslu. “Di situ kita akan secara detail (menyampaikan) tentang konsep HAM yang akan kita masukan dalam indikantor pemantauan,” ujar Ahmad.
Komnas HAM juga akan menjalankan peran dalam memberikan himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan praktik SARA. Apalagi tanda-tanda mengarah ke praktik SARA pada Pilkada Serentak 2018 mulai terlihat.
“Tapi ada kecenderungan isu primodial, keagamaan, di dalam memobilisasi opini masyarakat. Ini tidak sehat untuk demokrasi kita,” sebutnya.
Selain itu, Ahmad mengingatkan agar hak politik kelompok marginal dan kelompok rentan dalam memilih pemimpin diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu. Misalnya, hak-hak penyandang disabilitas. Komnas HAM menilai dalam pelaksanaan Pemilu sebelumnya akses dalam menggunakan hak pilih bagi penyandang disabilitas masih kurang.
“Tapi kemarin dalam coklit (pencocokan dan penelitian) itu sudah ada komitmen KPU dan Bawaslu untuk betul-betul mendata semua (kelompok marginal dan rentan) tanpa ada pengecualian lagi,” katanya.
Pihaknya jugaberkomitmen untuk memantau agar hak politik kelompok marginal dan rentan tetap terakomodasi.
“Komnas akan tetap memantau apakah ada kelompok tertentu yang nanti tidak memiliki akses yang sama dengan orang lain, karena situasi dan kondisi dari dirinya,” tandas Ahmad.
Sementara itu, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengingatkan agar pada tahun politik ini masyarakat lebih selektif dan cerdas dalam menerima informasi yang seliweran di media sosial.
“Memang bahaya sekali kalau info hoax diperbanyak untuk memotivasi yang negatif. Persatuan di masyarakat kita bisa terpecah belah, apalagi menjelang Pilkada,” ujarnya.
Menurut dia, orang Indonesia dikenal sangat menjunjung tinggi, saling menghargai dan menghormati orang lain. Tapi sekarang ini justru makin jauh dari keberadaban yang ada dalam sila ke-2 Pancasila.
“Dimensi sila kedua itu sudah tidak lekat dengan kita, jadi nilai-nilai yang ada di sila kedua ini sudah sama sekali tidak melekat lagi di masyarakat,” terangnya.
Tak hanya itu, pengguna media sosial yang suka menyebarkan hoax itu tidak menunjukkan orang yang sebenarnya karena kadang menggunakan nama palsu.
“Dalam konteks Indonesia saya berulang kali mengatakan bahwa kita butuh suri teladan baik itu pemimpin kita di birokrasi, di politik, di dunia usaha, para tokoh yang ditokohkan itu, orang yang disohori yang betul-betul tersohor, nah itu tidak muncul,” ujar Siti.(JR)