Keputusan Pemerintah membuka sektor usaha untuk mendorong peningkatan laju perekonomian di tengah keterpurukan ekonomi menjadi pilihan yang dilakukan untuk mensinergikan proses penanggulangan Covid-19, sekaligus penyelamatan ekonomi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi) Timboel Siregar menyampaikan, untuk menggerakkan sektor usaha diyakini sebagai strategi jitu untuk menahan laju penurunan pertumbuhan ekonomi.
“Tentunya dengan dibukanya sektor usaha, maka konsekuensinya tempat kerja berpotensi menjadi area penyebaran Covid-9,” ujar Timboel Siregar, di Jakarta, Minggu (12/07/2020).
Timboel Siregar mengatakan, tempat kerja memang sangat berpotensi menjadi penyebaran Covid-19 bagi pekerja dan keluarganya.
Mengingat proses produksi dan proses lainnya di tempat kerja kerap kali, saat ini, kurang mematuhi protokol Kesehatan yang diamanatkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendelian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Dan Surat Edaran (SE) Menaker No.M/7/AS.02.02/V/2020 tentang Rencana Keberlangsungan Usaha Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 di Perusahaan.
Dengan kondisi masih terus meningkatnya jumlah orang terinfeksi Covid-19 saat ini, bahkan kini sudah melampaui angka 1.600 orang tiap harinya, lanjut Timboel, tentunya tempat kerja memang menjadi salah satu area penyebaran Covid-9.
Sejak dibukanya sektor usaha di masa pandemi Covid-9 ini, hingga saat ini sudah ada beberapa kasus penyebaran Covid-19 di tempat kerja. Yaitu, awal Juli 2020 lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bekasi mengkonfirmasi bahwa area PT Unilever Indonesia, tepatnya Savoury Factory, menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
Kemudian, pernyataan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pada tanggal 8 Juli 2020 lalu, menyebutkan, terdapat lonjakan kasus di wilayahnya yang berasal dari klaster perusahaan, mencapai 33 persen. Yaitu perusahaan garmen, BUMN, dan minyak dan gas (migas) yang lokasinya ada yang di pelabuhan.
Serta kasus PT HM Sampoerna, khususnya Pabrik Rungkut 2, Kota Surabaya, Jawa Timur, juga menambah kasus penyebaran Covid-19 di perusahaan.
“Kasus-kasus tersebut tentunya menjadi petunjuk bahwa memang tempat kerja telah menjadi area rawan penyebaran Covid-19. Akan ada lagi tempat kerja lainnya yang menjadi area penyebaran Covid-19,” jelas Timboel Siregar yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch.
Dengan fakta ini, lanjutnya, dia menilai Pemerintah cq Pengawas Ketenagakerjaan belum mampu mengawal pelaksanaan protokol Kesehatan di tempat kerja, sebagaimana diamanatkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 dan Surat Edaran (SE) Menaker No.M/7/AS.02.02/V/2020, termasuk pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
“Kasus-kasus tersebut harus menjadi warning bagi Pemerintah dan Pengusaha. Saya mendesak Pemerintah dan Pengusaha fokus dan serius pada pelaksanaan UU No 1 Tahun 1970. Dan kedua ketentuan petunjuk protokol Kesehatan di tempat kerja. Jangan sampai pekerja yang terinfeksi covid-19 di tempat kerja semakin banyak, yang juga akan menularkan kepada keluarganya di rumah, sehingga menambah jumlah rakyat kita yang terinfeksi Covid-19,”tutur Timboel Siregar.
Selain itu, dengan semakin banyaknya tempat kerja yang menjadi zona merah, kata dia, maka konsekuensinya perusahaan akan ditutup. Sehingga akan menambah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan tanpa upah.
“Target mensinergikan penanganan Covid-19 dan menyehatkan perekonomian menjadi gagal,”ujarnya.
Timboel Siregar menerangkan, pekerja berhak atas keselamatan dan kesehatan dalam bekerja, seperti yang diamanatkan UU No. 1 Tahun 1970 dan UU No. 13 Tahun 2003.
Oleh karenanya Pengusaha dan Pemerintah bertanggungjawab untuk memastikan pekerja sehat, tidak terjangkiti Covid-19.
Oleh karenanya sangat dibutuhkan keseriusan dan ketegasan Pemerintah untuk mencegah tempat kerja menjadi area penularan Covid-19.
“Jangan sampai Pemerintah hanya berperan sekadar menghimbau dan menganjurkan pelaksanaan kedua ketentuan tersebut, tanpa melakukan intervensi langsung ke tempat kerja,”katanya.
Paling tidak, lanjut Timboel, ada dua hal hal yang harus dilakukan Pemerintah. Yaitu, pertama, terus memastikan Pengawas Ketenagakerjaan memantau seluruh perusahaan untuk menjalankan protokol Kesehatan, termasuk penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) maupun ketentuan lainnya.
“Pengawasan ini harus dilakukan secara periodik sehingga pihak manajemen perusahaan dan pekerja terus disadarkan akan pentingnya melaksanakan protokol Kesehatan di tempat kerja,”imbuhnya.
Dibutuhkan keseriusan dan ketegasan pengawas ketenagakerjaan untuk memastikan seluruh protokol Kesehatan dijalankan di tempat kerja.
Pengawas ketenagakerjaan harus memastikan Manajemen Perusahaan sudah mengidentifikasi prioritas usaha, mengidentifikasi resiko pandemi, merencanakan mitigasi risiko, identifikasi respon dampak pandemi, merancang dan mengimplementasikan perencanaan keberlangsungan usaha, mengkomunikasikan perencanaan keberlangsungan usaha, dan melakukan pengujian perencanaan keberlangsungan usaha.
Pengawas Ketenagakerjaan harus menggunakan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang memang mengamanatkan adanya Pengawasan (Pasal 5- 8) dan Pembinaan (Pasal 9), termasuk penerapan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1970 ini. “Sehingga sanksinya tidak hanya pancabutan ijin usaha,”terang Timboel.
Pengawas Ketenagakerjaan harus juga berkomunikasi dengan Pekerja atau Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh (SB) dalam menjalankan tugas preventif. Yaitu sesuai Pasal 12 huruf a UU No. 1 Tahun 1970. Yang menyatakan pekerja wajib memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawaipengawas dan atau ahli keselamatan kerja.
“Bila memang jumlah Pengawas Ketenagakerjaan dirasa kurang, seperti yang dikeluhkan Menaker ke Menaker, maka Pemerintah bisa menugaskan Mediator untuk membantu tugas-tugas pengawasan,”ujar Timboel.
Kedua, pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) dan Surat Edaran (SE) tersebut tentunya akan membutuhkan biaya tambahan bagi perusahaan, di tengah cash flow perusahaan yang masih bermasalah di masa pandemi Covid-19 ini.
“Sehingga kondisi pelaksanaan kedua ketentuan tersebut cenderung dilanggar perusahaan. Hal ini yang akan mengakibatkan potensi tempat kerja menjadi zona merah semakin besar,”ujarnya.
Pemerintah harus ikut membantu perusahaan mendapatkan APD dan fasilitas Kesehatan lainnya, khususnya perusahaan-perusahaan yang tidak mampu.
Pemerintah cq BPJS Ketenagakerjaan harus membantu perusahaan dalam menyediakan segala ketentuan yang diatur dalam protokol Kesehatan.
“Bukankah BPJS Ketenagakerjaan sudah memiliki Manfaat Layanan Tambahan (MLT) kepada perusahaan-perusahaan. Nah, saatnya BPJS Ketenagakerjaan harus lebih membantu perusahaan-perusahaan dengan MLT-nya,”jelas Timboel Siregar.
Keselamatan pekerja harus menjadi bagian dari prioritas Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini.
“Sehingga dengan pekerja yang sehat produktivitas akan semakin meningkat dan roda produksi terus berputar, perekonomian kita bisa lebih bergerak maju dan pertumbuhan ekonomi tumbuh secara positif,”tandas Timboel Siregar.(JR)
1 Comment
Pingback: Warning Keras, Tempat Kerja Menjadi Penyebaran Covid-19 | Covid19 in Indonesia