Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan seluruh jajaran Pemerintah Pusat diminta segera bertindak menolong masyarakat karena kian maraknya perampasan lahan di daerah.
Perampasan tanah masyarakat dimotori oleh perusahaan swasta dengan berkolaborasi pemerintah daerah dan aparat negara di tingkat lokal, telah membuat masyarakat terusir, terintimidasi serta kehilangan haknya.
Koordinator Kampanye dan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) Petrus Ndamung Nganggu mengungkapkan, seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Watupuda, Desa Watu Hadang dan Desa Umalulu, Sumba Timur, konflik terus terjadi lantaran masyarakat melakukan perlawanan dikarenakan tanahnya dirampas dan dikuasi oleh perusahaan swasta yang di-back up oleh aparatur negara.
Demi mempertahankan tanahnya dari gempuran korporasi, masyarakat tidak akan mundur. Dia menjelaskan, izin yang diberikan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur tanpa persetujuan masyarakat setempat.
“Sehingga menjadi sumber konflik yang terjadi hingga saat ini. Kami meminta Presiden Jokowi, Kapolri dan jajaran Pemerintah Provinsi NTT untuk segera menindak tegas Pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang telah lalai menyelenggarakan pemerintahan yang baik,” tutur Petrus Ndamung Nganggu, dalam siaran persnya, Kamis (29/03/2018).
Dikarenakan keberpihakan aparat kepolisian setempat kepada perusahaan perampas tanah masyarakat, lanjut Petrus, Walhi NTT juga mendesak Kepolisian Daerah NTT menghentikan penggunaan alat Negara yang mengintimidasi masyarakat.
“Kami juga mendesak Pemerintah Sumba Timur agar segera menghentikan segala upaya penjarahan lahan secara sepihak, serta menindak tegas Perusahaan yang mengabaikan kepentingan masyarakat,” tuturnya.
Konflik horizontal yang terus berkembang dikarenakan pemerintah daerah malah menjadi corong perusahaan menjarah lahan masyarakat. Hampir semua sendi kehidupan dan tatanan masyarakat pun dirusak oleh konflik itu.
Petrus menyampaikan, budaya masyarakat Sumba Timur pun tercabik-cabik. Sistem kekerabatan masyarakat tercabut dikarenakan kepentingan segelintir orang. Nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih terus terjaga kini terkikis.
“Simbol-simbol kebudayaan masyarakat dirusak menggunakan alat berat. Masyarakat tidak berdaya. Pemerintah di sini pun tidak mampu melindungi rakyatnya dari gempuran yang membabibuta. Rakyat yang kehilangan tanahnya tidak dipedulikan, malah oknum pejabat pemerintah asyik menumpuk uang dan kekayaan bagi dirinya sendiri,” tutur Petrus.
Rupanya, kata dia, perusahaan malah terus mengekspansi penjarahan tanah masyarakat. Kini, lokasi perusahaan terus meluas hingga wilayah-wilayah yang di larang keras oleh masyarakat.
“Karena wilayah tersebut merupakan wilayah peternakan, dan masyarakat sudah mempunyai rencana tersendiri dalam penggunaan lahan itu,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjut dia, lokasi yang telah dirambah perusahaan tersebut berada dalam penguasaan Kabihu Palaimalamba yang seharusnya mendapat persetujuan dari mayoritas masyarakat dan Kabihu Palaimalamba sendiri.
“Namun fakta di lapangan, kesepakatan tersebut tidak pernah terjadi,” ujarnya.
Petrus mengungkapkan, pada tanggal 28 Maret 2018, masyarakat Desa Umalulu yang dipimpin Tomy Umbu Pura dari Kabihu Palaimalamba selaku Kabihu yang dituakan, melakukan aksi protes karena perusahaan PT Muria Sumba Manis dan sub-kontraktornya CV Sinar Tambolaka masih saja beroperasi dan mengekspansi tanah masyarakat.
“Karena perusahaan itu masih saja beroperasi melakukan pembersihan lahan. Masyarakat melakukan protes dan mendesak agar semua alat-alat berat perusahaan dikeluarkan dari Desa Umalulu.”
Sebelum melakukan aksi itu, kata dia, masyarakat sudah memberikan penjelasan dan peringatan agar aktivitas perusahaan dihentikan, karena belum ada penyelesaian antara masyarakat dengan perusahaan dan Pemerintah Sumba Timur.
“Sudah empat kali diberikan peringatan, tetapi pihak perusahaan tidak pernah memberikan merespon dan niat baik,” katanya.
Sayangnya, lanjut Petrus, ketika melakukan aksi protes itu, masyarakat dihadang dan diintimidasi oleh aparat keamanan dan pihak perusahaan.
“Aksi protes keras sudah tiga kali ini dilakukan dan masyarakat terus melawan mempertahankan haknya.”
Bahkan, perusahaan yang meminjam alat negara untuk pengamanan itu kian gencar melakukan intimidasi. Mereka menakut-nakuti warga dengan melakukan pengawalan perusahaan mempergunakan senjata laras panjang.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan, masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya diintimidasi menggunakan alat negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat,” ujarnya.(JR)