Oleh: Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI)
Tiba-tiba gagasan tentang calon tunggal menguat jelang tahapan pencalonan dalam Pilkada akhir Agustus ini.
Saya menilai, ini adalah semacam siasat antara kekuasaan, parpol dan calon tertentu untuk menang dalam Pilkada.
Artinya, ada kekuatiran bahwa orang-orang yang yang diplot oleh kekuasaan dan parpol untuk menjadi kepala daerah tak disukai rakyat sehingga tak terpilih.
Jadi ini adalah siasat mereka untuk mendorong orang-orang tertentu yang memiliki kedekatan emosional dan keluarga dengan mereka untuk menjadi calon tanpa lawan.
Jadi calon tunggal ini adalah mainan para penguasa untuk memperkuat dinasti politik mereka. Nanti kita akan lihat bahwa orang-orang yang akan dicalonkan kemungkinan besar memiliki kedekatan dengan para penguasa ini, baik pengusaha negara maupun pengusaha parpol.
Karena itu, mereka cenderung mengambil jalan pintas dengan menghalangi calon baik yang memiliki elektabilitas tinggi.
Fenomena calon tunggal adalah kecelakaan sejarah. Sebab dibolehkannya calon tunggal dalam Pilkada membuka ruang bagi partai politik dan elite politik untuk mengatur siasat agar calon kepala daerah bisa mereka tentukan, bukan lagi ditentukan oleh rakyat melalui Pilkada.
Artinya dukungan partai terhadap Paslon dibuat dalam koalisi gemuk sehingga yang muncul hanya bisa satu Paslon.
Fenomena ini ditunjang dengan syarat rekomendasi partai politik harus dari Pimpinan Pusat. Akibatnya proses penjaringan dan pencalonan dari bawah yang dilakukan di daerah, tak lagi bermakna.
Sebab semua ditentukan oleh pusat. Pimpinan Pusat bahkan bisa mendrop calon dari pusat yang tak mengakar dan tak dikenal rakyat di daerah itu untuk menjadi calon tunggal dengan dukungan koalisi parpol mayoritas yang ditentukan oleh Pusat.
Jadi calon tunggal bertentangan dengan prinsip demokrasi. Lewat calon tunggal ini, para elit kekuasaan mengebiri kehendak rakyat untuk kepentingan kekuasaan mereka saja.
Mereka ingin mendapatkan kekuasaan dengan jalan demokrasi yang cacat. Mereka ingin menduduki jabatan dengan memanipulasi suara rakyat tanpa rakyat menyadarinya.
Jadi seolah-olah demokratis padahal demokrasi yang dikebiri oleh mereka. Rakyat memang memilih, tapi memilih yang sudah mereka tentukan lewat prosedur yang dibajak.
Karena itu, maka calon tunggal dalam Pilkada harus dilawan. Rakyat harus bangkit untuk melawan pemilu yang dikebiri oleh para elit tersebut.***