Yusuf Situmeang, salah seorang anggota Forum Warga Korban Perampasan Kodam RW 010 Cililitan mengeluhkan peristiwa mencurigakan yang terjadi. Dia pun meminta aparat hukum dan masyarakat melakukan investigasi.
Sebelum penggusuran dan penguasaan lahan warga itu terjadi, sekitar bulan Juni 2013, terjadi kebakaran rumah warga, milik Guntur Napitupulu sederetannya. Namun dapat dipadamkan dengan bantuan dari Gedung BKN yang bersebelahan dengan rumah warga.
Pada 13 September 2013, terjadi kebakaran besar lagi. Membumihanguskan rumah-rumah warga yang berada di RW 010 itu.
“Kejadiannya sekitar jam dua pagi waktu itu,” ujar Situmeang.
Di saat semua warga dirundung kesedihan dan kehilangan rumah dan harta berharga mereka belum pulih akibat kebakaran besar itu, pada 13 Januari 2014, sebanyak 3000-an personil TNI berpakaian dan bersenjata lengkap mengepung permukiman warga itu dan memaksa warga keluar dari wilayah itu.
Tak banyak perlawanan yang bisa dilakukan warga. Banyak warga yang kena seret karena melawan, mengalami luka-luka.
“Bahkan, Ibu mertua saya yang sedang sakit keras, dan tergeletak lemah di tempat tidurnya dibentak dan dipaksa keluar dan meninggalkan rumah. Bapak mertua saya, yang ada di rumah waktu itu, mengatakan pada gerombolan pria berpakaian tentara itu, lebih baik sisakan satu butir pelurumu, dan tembak isteri saya, supaya cepat mati, daripada harus kau usir-usir dalam kondisi sakit begini. Itu lebih baik,” tutur Situmeang mengungkapkan kejadian pada keluarganya.
Menurut Yusuf Situmeang, peristiwa kebakaran permukiman mereka itu penuh kecurigaan. Tidak ada angina, tidak ada api, kok bisa kebakaran hebat.
Yang lebih anehnya lagi, lanjutnya, di belakang rumahnya ada kali atau dam air yang biasanya berair deras dan dalam, pada saat kebakaran itu, dirinya hendak melompat mencari air untuk memadamkan api yang mulai membakar rumahnya, namun kering.
“Biasanya deras airnya, setiap hari. Kok pas saya mau padamkan kebakaran, kalinya kering?” tanyanya.
Oleh karena itu, dia mencurigai, kebakaran itu adalah desain dan permainan pihak-pihak yang diduga ingin mengusir dan menguasai rumah dan lahan warga. “Ini perlu ditelusuri, diinvestigasi dan diusut,” katanya.
Nah, dalam lima tahun terakhir, pasca pengusiran dan kini rumah dan tanah mereka digusur pihak Kodam, sejumlah warga masih tetap menumpang dan berkeliaran di sekitar lokasi.
Ada yang tidurnya di pasar-pasar, di emperan, numpang di tempat kawan, ada juga yang pindah mencari kontrakan dan seterusnya. Tidak satu orang pun yang diberikan kompensasi.
“Yang saya bingung, hampir tiap minggu ada warga kami itu yang meninggal dunia. Hitung-hitung, dalam satu tahun saja, bisa lebih dari 50 orang meninggal dunia. Ini ada apa?” katanya.
Selain itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Anak-anak mereka yang bersekolah digusur. Gereja tempat mereka beribadah pun dipaksa dirubuhkan. “Itu gereja sah, dan ijinnya dari Kementerian Agama. Dari Negara. Itu pun dirubuhkan secara paksa. Demikian juga rumah ibadah lain dirubuhkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, warga meminta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo bersedia mengusut tuntas persoalan ini, dan mengembalikan tanah dan rumah warga kepada warga.
“Hak-hak kami sebagai warga Negara dan pemilik tanah dan rumah, kami minta dikembalikan ke kami,” ujarnya.
Kini, di lokasi itu, sudah mulai berdiri rumah susun untuk anggota TNI. Selain itu, tanah warga yang sudah dikosongkan pun dijagai ketat.
“Mereka merampas hak kami, mereka merampas tanah dan rumah kami, mereka merampas kehidupan kami, dan kami digusur,” ujarnya lagi.(JR)