Wacana dan rencana memindahkan Ibukota Negara tidak transparan. Selain itu, wacana dan rencana ini hanya akan membebebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Karena itu, Sekjen Forum Indonesia untuk Trasnparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menyarankan agar pembahasan mengenai pemindahan Ibukota Negara itu sebaiknya dibuka dengan transparan dengan melakukan kajian yang konprehensif.
“Sejauh ini tidak ada transparansi dan hanya membebani APBN saja. Banyak yang tidak rasional dalam rencana pemindahan Ibukota Negara itu,” tutur Misbah Hasan, di Jakarta, Rabu (01/05/2019).
Dia menyatakan, jika mencermati Rapat Kabinet Kerja dengan Presiden pada Senin, 29 April 2019, ada sejumlah poin yang harus di kaji dan dibuka ke masyarakat.
“Wacana ini sudah dibahas dan dikaji sejak lama oleh kabinet-kabinet Presiden sebelum-sebelumnya, tetapi hasil kajian tidak serius, tidak pernah dipublikasikan secara luas. Jadi, terkesan main-main dan tidak transparan,” tutur Misbah Hasan.
Yang perlu juga dicermati, lanjutnya, wacana pemindahan ini justru dapat memecah konsentasi pemerintah dalam membahas isu-isu yang lebih krusial, misalnya pembangunan ekonomi inklusif, penanggulangan kemiskinan, pemerataan, perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, dan seterusnya.
Menurut Misbah hasan, anggaran memindah ibukota yang ditaksir mencapai Rp 446 triliun pasti akan mempersempit ruang fiskal pemerintah.
“Dan biasanya pemerintah ambil jalan pintas dengan pendanaan melalui utang. Ini ygang mesti dikritisi, mengingat beban utang akan semakin berat. Bunga utang Indonesia saja sudah 17% lebih dari Total Belanja APBN,” ujarnya mengingatkan.
Bahkan, lanjut dia, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, APBN menunjukkan tren deficit. Sehingga akan tidak sehat jika APBN dikuras untuk membiayai pemindahan Ibukota Negara.
“Apalagi hanya digunakan untuk pembiayaan pengadaan infrastruktur awal, seperti kantor pemerintahan dan parlemen, dan lain-lainnya,” ujarnya.
Dalam catatan hasil analisis Fitra, dirinci Misbah Hasan, pada tahun 2014 defisit APBN sebesar Rp 220,2 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 325,2 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 321,9 triliun pada tahun 2017 defisit sebesar Rp 349,6 triliun dan tahun 2018 Rp 287,9 triliun.
Terkait dengan utang, kajian Fitra mengenai utang menunjukkan bahwa utang BUMN jauh lebih besar dibanding dengan utang pemerintah.
Per tahun 2017 utang BUMN mencapai Rp 4.825 triliun. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 38% dibanding tahun 2014 yang mencapai Rp 3.488 triliun.
“Selama proyek-proyek yang diselenggarakan BUMN, rasio pembiayaan 30% dari ekuitas dan 70% dari pinjaman,” ujar Misbah Hasan.
Lagi pula, ditegaskan Misbah Hasan, untuk melakukan pemerataan pembangunan tidak harus memindahkan Ibukota Negara kok.
“Pemerataan pembangunan itu mestinya menerapkan konsep pembangunan dan pertumbuhan inklusif, terutama di wilayah Timur Indonesia,” katanya.
Menurut dia, konsentrasi pada pembangunan infrastruktur pada era kabinet kerjanya Jokowi sudah tepat.
“Tinggal mengisi dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah prioritas pembangunan,” ujar Misbah Hasan.(JR)