Presiden Jokowi kembali didesak bertindak tegas memberantas aksi-aksi terorisme di Indonesia. Aksi terorisme yang kembali terjadi di Mapolda Pekanbaru, Riau, kemarin, semakin menunjukkan betapa lecehnya kedaulatan Indonesia di mata terorisme.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kembali mengecam aksi terorisme yang berlangsung di Riau itu.
Kahumas PGI Jeirry Sumampow menuturkan, sikap PGI sangat tegas meminta negara melakukan pemberantasan terorisme di Tanah Air.
“Untuk itu kami meminta Presiden Joko Widodo untuk bertindak tegas memberantas gerakan teroris sampai ke akar-akarnya, untuk menciptakan rasa aman bagi seluruh masyarakat,” tutur Jerirry Sumampow, Rabu (16/05/2018).
Dia menjelaskan, kembalinya aksi terorisme di Mapolda Pekanbaru, Riau, menambah keprihatinan mendalam. Setelah sebelumnya lima anggota Polri tewas atas tindak terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, serta sedikitnya 13 jiwa korban aksi teror bom di Surabaya.
“Kami menyampaikan pengharagaan kepada aparat kepolisian yang telah berhasil melumpuhkan beberpa pelaku tindak terorisme ini. Kami berdoa bahwa ke depan kepolisian akan lebih mampu lagi menangkal dan menangani ancaman terorisme ini,” ujarnya.
PGI berpendapat, situasi yang sangat memprihatinkan ini akan terus meluas bila semua pihak tidak bersama-sama bekerja mengatasi berkembangnya paham ideologi radikal.
“ Tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme tidak akan pernah mampu menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Menurut Jeirry, pasa dasarnya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan pembunuhan. Agama apapun, lanjut dia, mengajarkan kemanusiaan, damai dan Cinta Kasih.
“Kesesatan berpikirlah yang membawa penganut agama melakukan kekerasan dan tindak terorisme,” ujarnya.
Oleh karenanya, menurut dia, para pemimpin agama perlu lebih serius mewaspadai munculnya para pendukung kekerasan dan tindak terorisme yang berselubungkan penginjilan atau dakwah lewat khotbah-khotbah maupun pernyataannya.
Lagi pula, lanjut dia, program deradikalisasi BNPT akan sia-sia jika masyarakat justru memberi panggung kepada para pemimpin agama yang menyebarkan faham radikalisme dan kekerasan lewat misi dan dakwah-dakwahnya.
“Olehnya, kami menghimbau para pemimpin agama dan masyarakat untuk tidak memberi angin dan simpati kepada pelaku kekerasan dan terorisme, apapun motifnya,” katanya.
Satu hal yang perlu diperhatikan juga, lanjut Jeirry, publikasi dan pengelolaan media massa yang ditunggangi oleh para penangut teror dan kekerasan.
Menurut dia, para pemilik dan pengelola mediamassa mestinya lebih selektif memilih narasumbernya untuk ditampilkan.
Kata dia, media mempunyai tanggungjawab moral untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman terorisme.
“Karena itu, kami himbau untuk hentikan memberi ruang dan panggung kepada orang-orang yang mendukung atau yang memberi angin berkembangnya aksi-aksi terorisme di Indonesia,” ucapnya.
Tak berhenti sampai di situ, Jeirry juga menghimbau seluruh elit politik dan masyarakat agar menghentikan komentar justru memperkeruh keadaan.
“Janganlah menggunakan peristiwa kekerasan dan tindak terorisme ini untuk menangguk kepentingan politik dan sesaat, karena harga yang sedang dipertaruhkan adalah masa depan bangsa,” imbuhnya.
Dalam penyebaran informasi, PGI juga menghimbau masyarakat menghentikan penyebaran foto dan video. Sebab, menurut Jerirry, itu justru menjadi tujuan teroris yakni menebarkan rasa takut di tengah masyarakat.
“Kami menghimbau masyarakat untuk menebarkan kasih dan rasa damai melalui ragam media. Kita tak perlu takut menghadapi ancaman terorisme ini, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada penanganan oleh negara, seraya tetap membangun kewaspadaan,” pungkasnya.(JR)