Sidang Perkara Nomor 465/Pid.B/2024/PN Jkt.Pst tentang Penipuan dan Pemalsuan Putusan Mahkamah Agung (MA), dengan Terdakwa Prof DR Marthen Napang, SH., MH., kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), pada Rabu, 14 Agustus 2024.
Agenda persidangan ketiga ini adalah Tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi Terdakwa. Persidangan digelar di Ruang Oemar Seno Adji 2, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), di Jalan Bungur Besar Raya No.24, 26, 28, RT.28/RW.1, Gunung Sahari Selatan, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Persidangan dimulai pukul 14.00 WIB. Dari pantauan wartawan di ruang sidang, Majelis Hakim sudah duduk rapi. Demikian pula Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tri Yanti Merlyn CP, SH., dan rekannya sudah bersiap membacakan tanggapannya atas eksepsi Terdakwa.
Sedangkan Terdakwa Prof DR Marthen Napang, SH., MH., masih tampak selfie-selfie atau berswafoto dengan sejumlah pengunjung sidang, yang diduga adalah anggota keluarga Terdakwa dan para koleganya.
Kemudian, Terdakwa Prof DR Marthen Napang, SH., MH., yang diketahui adalah Guru Besar Ilmu Hukum Internasional di Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar itu dipanggil oleh Majelis Hakim untuk maju dan duduk di kursi Terdakwa. Persidangan pun dimulai.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tri Yanti Merlyn CP, SH., mulai membacakan tanggapan JPU atas eksepsi Terdakwa yang sudah disidangkan pada Rabu 7 Agustus 2024.
Dalam pembacaan tanggapannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Tri Yanti Merlyn CP, SH., membantai semua eksepsi yang dilakukan oleh kuasa hukum Terdakwa Prof Dr Marthen Napang.
“Eksepsi Terdakwa atas nama Prof Dr Marthen Napang, tidak memiliki nilai hukum. Dan tidak sesuai dengan Pasal 156 KUHAP,” ujar JPU Tri Yanti Merlyn.
JPU menegaskan, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sudah dibacakan pada persidangan pada Senin, 15 Juli 2024 lalu itu sudah sesuai dan sudah cermat.
“Surat Dakwaan JPU sudah disusun secara tepat dan cermat. Dan sudah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan formal,” lanjut JPU Tri Yanti Merlyn.
Karena itu, JPU Tri Yanti Merlyn meminta kepada Majelis Hakim agar menolak eksepsi yang telah dilakukan oleh Terdakwa Prof Dr Marthen Napang.
“Eksepsi Terdakwa tidak dapat diterima, atau ditolak,” ujarnya.
Dalam Surat Dakwaan, diterangkan, Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., berusia 64 tahun. Kelahiran Makassar, 12 Maret 1957, beragama Islam, dan berprofesi sebagai Dosen.
Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., tinggal di dua tempat yakni di Jalan Ince Nurdin No. 11 RT 02 RW 01 Desa Baru Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, atau Rusun Karet Tengsin 2 Blok B 703 Jalan Karet Pasar Baru Barat I Rt.013 Rw. 07 Kelurahan Karet Tengah, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., dijerat dengan Pasal 263 ayat 2 KUHP terkait pemalsuan dokumen.
Pasal 263 KUHP:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. (K.U.H.P. 35, 52, 64-2, 276, 277, 416, 417, 486).
Usai pembacaan tanggapan JPU atas eksepsi Terdakwa, sidang diskors dan akan dilanjutkan pada Rabu, 21 Agustus 2024, dengan agenda Pembacaan Putusan Sela.
Setelah persidangan, Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., masih melanjutkan acara selfi-selfie bersama koleganya di depan ruang sidang.
Selanjutnya, petugas membawa Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., kembali ke rumah tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat, setelah terlebih dahulu mengenakan borgol atau gari di tangan Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH.
Diketahui, selain sebagai Guru Besar di UNHAS Makassar, Terdakwa Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., juga masih sebagai Ketua Badan Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Indonesia Timur (INTIM) Makassar atau yang sering dikenal sebagai Sekolah Pendeta STT INTIM.
Anehnya, pihak Badan Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Indonesia Timur (INTIM) Makassar belum memproses status keberadaan Prof Dr Marthen Napang, SH., MH., untuk diberhentikan, sebab yang bersangkutan telah berpindah agama sebagai Islam, sesuai dengan Surat Dakwaan Jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Prof Dr Marthen Napang, SH, MH, sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dan atau penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan atau pemalsuan (Pasal 263 KUHP) terhadap pelapor Dr John Palinggi, MM, MBA. Perkara tersebut terjadi di Graha Mandiri Lantai 25, No 61 Jakarta Pusat, pada Senin, 12 Juni 2017 silam.
Dalam wawancara dengan Tim Kuasa Hukum Dr John Palinggi, MM, MBA, yakni Muhammad Iqbal, SH, bersama Peter De Rosari, dijelaskan terkait kasus Marthen Napang yang sudah ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan dan atau pemalsuan surat Mahkamah Agung.
“MN (Marthen Napang) sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada tanggal 4 Juni 2024. Dimana klien kami, saudara Doktor John Palinggi telah menerima tembusan pemberitahuan terkait dengan penetapan tersangka saudara Profesor Doktor Marthen Napang SH, MH,” tutur Muhammad Iqbal kepada wartawan.
“Mulanya, pada tahun 2017, Marthen Napang datang menemui Pak John Palinggi untuk meminta menggunakan ruangan kantor di Graha Mandiri Lantai 25, Jakarta Pusat,” lanjut Muhammad Iqbal.
Menurut Iqbal, dalam kurun waktu permintaan tersebut, John Palinggi menyetujui memberikan fasilitas tersebut. John Palinggi memberikan ruangan itu, termasuk segala hal yang terkait, seperti kebutuhan ATK (alat tulis kantor).
Seiring perjalanannya, lanjut Iqbal, Marthen Napang mendatangi John Palinggi dan menawarkan dirinya untuk siap membantu penyelesaian jika ada perkara berkaitan di Mahkamah Agung.
Bahkan, kala itu, Marthen Napang sempat meyakinkan John Palinggi dengan menunjukkan 12 putusan yang pernah dimenangkannya di MA.
Gayung pun bersambut. Beberapa lama kemudian, Orang Tua angkat John Palinggi yang bernama Ir A Setiawan sedang berperkara dan kasusnya saat itu berproses di tingkat Mahkamah Agung.
Lalu Marthen Napang meminta berkas terkait kasus tersebut kepada John Palinggi. “Marthen Napang juga meminta sejumlah dana operasional terkait pengurusan kasus tersebut kepada John Palinggi. Dana operasional itu pun ditransfer secara bertahap, sesuai permintaan Marthen Napang, kepada tiga rekening atas nama yakni Elisan Novita, Suaeb, dan Sa’dudin ,” jelas Iqbal menguraikan.
Iqbal melanjutkan, dalam perjalanannya, John Palinggi menanyakan perkembangan kasus tersebut kepada Marthen Napang. Kembali Marthen meyakinkan John Palinggi agar tetap tenang menunggu putusan MA tersebut.
Selang beberapa lama, ada email atas nama Marthen Napang yang dikirimkan ke email John Palinggi.
“Setelah di-print out email tersebut, ternyata berisi putusan MA yang memenangkan atau mengabulkan perkara Ir A Setiawan yang diurus oleh Marthen Napang,” bebernya.
Seminggu berlalu, John Palinggi merasa perlu mengecek kebenaran putusan MA yang diduga dikirim via email Marthen Napang.
“Alhasil, didapatkan informasi dari MA bahwa ternyata Putusan MA yang dimaksud ditolak. Bukannya dikabulkan seperti isi email yang diduga dikirim Marthen Napang,” katanya.
“Berawal dari sini, kemudian John Palinggi melaporkan Marthen Napang ke Polda Metro dengan Laporan Polisi (LP) Nomor 3951/VII/2017/PMJ/Dit Reskrimum/ tanggal 22 agustus 2017,” jelas Iqbal.(RED)