Protes atas kehadiran kapal keruk pasir laut milik Belanda, PT Royal Boskalis di Perairan Makassar mengakibatkan warga Nelayan Kepulauan Sangkarrang mengalami kriminalisasi.
Aliansi Selamatkan Persisir Makassar (ASP Makassar) Bersama Nelayan Kepulauan Sangkarrang menyampaikan, telah terjadi tindak pidana kriminalisasi yang dialami warga Nelayan Kepulauan Sangkarrang, karena memprotes kehadiran kapal kerus milik Belanda PT Royal Boskalis di wilayah perairan mereka.
Penasehat Hukum Nelayan Kepulauan Sangkarrang, Edy Kurniawan, yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH Makassar) menuturkan, kehadiran kapal Boskalis telah menyebabkan reaksi masyarakat.
Tercatat, 5 kali nelayan melakukan aksi protes di depan Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan (Rumjab Gubernur Sulsel), di lokasi Proyek Makassar New Port dan di lokasi penambangan.
“Aksi protes tersebut menuntut penghentian aktivitas tambang atau setidaknya ada solusi dari Gubernur Sulsel, misalnya menggeser titik lokasi tambang keluar dari wilayah tangkap ikan. Akan tetapi, yang datang malah surat panggilan dari Polairud Polda Sulsel,” ujar Edy Kurniawan, Selasa (04/08/2020).
Mereka yang mendapat panggilan adalah warga bernama Manre, Suadi, Hj Bahariah dan Sarti. Mereka dipanggil untuk diperiksa keterangannya sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana Setiap orang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan dan/atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Pemanggilan dilakukan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP-A/283/VII/2020/SPKT, tanggal 17 Juli 2020. Atas kejadian tanggal 16 Juli 2020 di Pulau Kodingareng yang diduga dilakukan oleh Manre.
Edy Kurniawan menjelaskan, pada Panggilan I dilakukan pada tanggal 19 Juli 2020 terhadap Manre dan Suadi. Namun tidak dihadiri karena tenggang waktunya tidak wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan.
Pada tanggal 28 Juli 2020, Hj Bahariah turut dipanggil, namun tidak dihadiri dengan alasan yang sama.
Kemudian, panggilan II dilakukan pada tanggal 30 Juli 2020 terhadap Manre dan Sarti. Maka pada Senin (03/08/2020), Mandre bersama Suadi dan Sarti dengan didampingi 4 orang Penasehat Hukumnya dari LBH Makassar, memenuhi panggilan Penyidik untuk memberikan keterangan sebagai Saksi.
Dalam proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Manre diperiksa selama ± 8 jam sejak pukul 10 Wita sampai pukul 18.00 Wita.
“Dengan jumlah pertanyaan tak terhitung, lantaran banyaknya pertanyaan berulang. Bahkan satu pertanyaan biasa diulang sampai 5 kali hanya untuk mengejar keterangan mengenai apa isi amplop sebelum dirobek Manre,” ungkap Edy Kurniawan.
Namun Manre tetap konsisten dengan keterangannya, bahwa ia samasekali tidak mengetahui isi amplop tersebut sebelum dirobeknya. Setelah dirobek barulah ia ketahui dari masyarakat ternyata isinya berupa uang.
Dengan demikian, dari semua rangkaian, jika dicermati proses pemeriksaan kasus ini begitu cepat sehingga mengabaikan prinsip due process of law. Dalam artian, Mandre selaku terlapor tidak diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi pada tahap penyelidikan, namun langsung dipanggil dengan status sebagai saksi pada tahap penyidikan.
Secara substansi, lanjut Edy Kurniawan, pasal yang disangkakan sangat dipaksakan. Penyidik mempersulit diri dalam mengurai rumusan pasal dan membuktikan unsurnya. Dalam artian, Mandre dijerat dengan perbuatan Merusak, memotong rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah.
“Padahal, Mandre hanya merobek amplop yang ia tidak ketahui isinya dengan maksud menolak pemberian ganti rugi dari dari Boskalis. Jadi, Manre sama sekali tidak mengetahui jika yang ia robek adalah rupiah apalagi sampai bermaksud merendahkan rupiah. Kasus ini terlihat nyata adanya upaya kriminalisasi dan diduga kuat dilakukan untuk meredam aksi protes masyarakat menolak aktivitas tambang PT Boskalis,” tutur Edy Kurniawan.
Padahal, pasal 66 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa, Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana atau digugat secara perdata.

Upaya kriminalisasi ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan nelayan Kepulauan Sangkarrang. Seharusnya, manurutnya, Penyidik menyadari jika nelayan melakukan aksi protes hanya untuk mempertahankan ruang hidup mereka yakni wilayah tangkap ikan yang dirusak oleh Boskalis, serta memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara.
“Karena sejak awal, pun diakui oleh Boskalis jika mereka tidak melakukan sosialisasi dan konsultasi publik mengenai rencana penambangan tersebut. Dalam hal ini tidak ditegakkan fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah dan perusahaan,” lanjut Edy.
Oleh karenanya, Gubernur Sulsel dan Boskalis telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat nelayan yang terdampak langsung dari kegiatan tambang Boskalis.
Dari keseluruhan fakta hukum itu, lanjutnya, dapat disimpulkan bahwa Gubernur Sulsel selaku pemberi izin dan Korporasi untuk Boskalis selaku penambang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusi (HAM) terhadap masyarakat dan Nelayan Kodingareng.
Antara lain, hak mempertahankan hidup dan kehidupannya, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan dan penghidupan layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 Jo. Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Pasal 11 ayat 1 UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Covenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Selatan (Walhi Sulsel) Muhammad Al Amin, menegaskan, pihaknya yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Persisir Makassar (ASP Makassar) Bersama Nelayan Kepulauan Sangkarrang mendesak Kapolri Jenderal Pol Idham Azis Cq Polda Sulsel untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Nelayan Kepulauan Sangkarrang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Meminta Gubernur Sulsel untuk mencabut Ijin Usaha Pertambangan PT Benteng Laut Indonesia dan menghentikan kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional,” ujar Al Amin.
Kemudian, PT Royal Boskalis Internasional diminta untuk menghentikan kegiatan penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan dan ruang hidup Nelayan Kepulauan Sangkarrang.
Mereka juga meminta, Komnas HAM untuk segera turun ke lokasi menemui pihak-pihak terkait-Nelayan, Gubernur Sulsel, Boskalis dan Polda Sulsel untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh PT Boskalis dan Gubernur Sulsel.
“Dan meminta Polda Sulsel untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Nelayan,” ujar Al Amin.
Berikutnya, meminta Kementerian Kelautan Dan Perikanan RI untuk segera melakukan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran penambangan di wilayah laut Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar.
“Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut dugaan korupsi, yakni penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi terkait penerbitan ijin tambang PT Benteng Laut Indonesia,” tandasnya.(JR)