Sejumlah nama yang muncul dalam seleksi Calon Pimpinan KPK diharapkan mampu mengemban tugas melakukan pencegahan tindak pidana korupsi secara maksimal.
Sebab, selama ini, KPK dianggap hanya mencitrakan keberhasilan dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), sehingga kegagalan fungsi pencegahan tidak terekspos.
Ketua Umum Advokat Indonesia Maju (AIM) Sandi Ebenezer Situngkir mengatakan, Pimpinan KPK Priode ini dan sebelumnya telah gagal. Kegagalannya karena tidak melakukan fungsi pencegahan.
“Gagalnya fungsi Pencegahan KPK ditutup dengan oleh tindakan OTT sebagai hiburan bagi rakyat. Ke depan, pencegahan itu sangat urgen untuk dilakukan,” tutur Sandi Ebenezer Situngkir, di Jakarta, Rabu (07/08/2019).
Perlu diketahui, lanjutnya, penindakan melalui OTT, kurang efektif. Efek jera yang diharapkan ternyata tidak terjadi.
Apalagi, kata lanjut Situngkir, nilai yang di-OTT terkadang enggak sebanding dengan biaya penanganan perkara korupsi. Seperti, dimulainya penyidikan sampai perkara diputus di pengadilan.
“Bahkan, negara juga harus mengeluarkan biaya hidup koruptor di penjara selama ditahan. Sehingga tujuan mengembalikan kerugian tidak menjadi nyata. Hal ini juga dipengaruhi pola hidup pegawai penjara yang korup seperti Kepala Lapas Suka Miskin. Sementara efek jera yang diharapkan atas tindakan OTT, tidak membuahkan hasil,” bebernya.
Mantan Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta ini mengatakan, di sisi lain, Pimpinan KPK mengharapkan pengadilan menghukum berat para terdakwa tipikor.
Akan tetapi Jaksa Penuntut Umum (JPU) sering kali menuntut rendah para terdakwa koruptor di Pengadilan.
“Pimpinan KPK melemparkan isu ke publik atas putusan pengadilan yang rendah, padahal Jaksa Penuntut Umumlah yang menuntut rendah terdakwa tipikor,” ujarnya lagi.
Oleh karenanya, Sandi Ebenezer menegaskan, Pansel Pimpinan KPK harus berani mencari Pimpinan KPK yang berani melakukan tindakan preventif.
Pilihan terbaik Pimpinan KPK yang baru harus berani melakukan penelusuran terhadap asset sebagaimana terdapat di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“LHKPN harus dibuka kepada publik dan ditelusuri sumber LHKPN-nya,” ujar Sandi.
Selama ini, dia mengingatkan, LHKPN hanya ditampung di database KPK. Kalau begitu, tidak ada artinya para pejabat melaporkan LHKPN, jikalau Pimpinan KPK tidak melakukan penelitian atas laporan itu.
“Termasuk harusnya melakukan follow the money di LHKPN tersebut,” ucapnya.
Memang, kata dia, masukan Kelompok Masyarakat Sipil, seperti para Pegiat Anti Korupsi bukan segalanya bagi Pansel KPK. Namun, adanya isu kelompok, harus dapat diselesaikan oleh Pimpinan KPK yang baru.
“Pimpinan KPK sekarang ini kurang berdaya menyelesaikan issu perpecahan di internal KPK. Sehingga dibutuhkan orang dari eksternal yang memiliki jiwa kesatria,” ujar Sandi.
Perlu juga menjadi perhatian Pansel KPK, maraknya pejabat dan pegawai dari Internal KPK yang mengikuti proses seleksi. Mereka ini, kata Sandi, adalah bagian dari persoalan yang terjadi di internal KPK.
Orang-orang internal KPK seperti Deputi sampai Wadah Pegawai KPK yang mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK, ditenggarai tidak menyelesaikan permasalahan internal.
“Karena bagian dari konflik. Sebaiknya Pimpinan KPK ke depan orang baru dengan jiwa Panglima Perang Pemberantasan Korupsi,” tutup Sandi Ebenezer Situngkir.
Pansel Capim KPK gelagapan menanggapi kritik yang dilancarkan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW mengatakan, 40 nama yang lolos tahap seleksi, tidak memuaskan publik.
Atas kritik itu, Anggota Pansel Capim KPK, Hendardi mengatakan, kerja Pansel bukanlah untuk memuaskan ICW.
“Pansel memang bukan alat pemuas bagi ICW kok. Pansel mempertanggungjawabkan kinerja kepada Presiden, bukan kepada ICW, atau koalisi masyarakat,” tutur Hendardi.
Hendardi balik mempertanyakan ICW yang kerap mengatasnamakan publik dalam setiap kritiknya terhadap kinerja Pansel Capim KPK. Sebab, bagi Hendardi, mengatasnamakan publik itu tidak boleh seenaknya.
“Mereka menyatakan publik tidak puas dengan 40 pilihan pansel melalui tes psikologi yang baru diumumkan. Mereka mengatasnamakan publik atas dasar riset atau survei atau mereka baru menang pemilu? Bisa serta merta dan enteng mengatasnamakan publik,” ujar Hendari.
Hendardi menilai sikap nyinyir yang ditunjukkan ICW kepada pansel seolah-olah ICW memiliki kepentingan pribadi atau vested interest.
Hendardi mengatakan sejak awal pansel mengundang ICW untuk mendaftar menjadi capim KPK.
“Jika hanya ICW atau PuSAKO atau sedikit lembaga-lembaga semacam ini yang tidak puas, sudah sejak awal pansel bekerja mereka selalu nyinyir karena memang sangat mungkin memiliki vested interest. Dari mula pansel sudah mengundang mereka mendaftar untuk mencalonkan capim KPK tapi sedikit atau malah hampir tidak ada yang maju. Ketika pihak lain maju mendaftar seperti polisi, jaksa, atau hakim, mereka sewot,” beber Hendardi.
Kemudian, Hendardi juga menjawab kritik ICW soal LHKPN. Menurutnya, peraturan seleksi sama seperti tahun sebelumnya, serta capim juga membuat pernyataan tertulis akan menyerahkan LHKPN jika terpilih menjadi komisioner KPK.
“Menyangkut LHKPN yang mereka ributkan, sederhana jawabannya. Kenapa ketika seleksi tahun 2015 dan periode-periode sebelumnya ICW dan kawan-kawan tidak meributkan? Tidak ada persyaratan yang berbeda dari periode sebelum-sebelumnya. Saat pendaftaran mereka disyaratkan membuat pernyataan tertulis di atas meterai bahwa akan menyerahkan LHKPN jika terpilih dan nanti jika terpilih syarat itu tentu akan ditagih,” ujarnya.
Hendardi mengatakan, kritik ICW dan lembaga lain terkait LHKPN untuk menjatuhkan orang yang tidak mereka suka. Dia menekankan pansel tidak bisa didikte siapapun.
“ICW dan PuSAKO dkk meributkan LHKPN sekarang karena memiliki interest untuk menjatuhkan orang-orang yang mereka tidak sukai (polisi dan jaksa) dan mendorong figur favoritnya yang berasal dari kalangan KPK. Pasti pekerja atau pejabat asal KPK sudah lebih siap dengan LHKPN karena dokumen itu memang pelaporannya ke KPK,” terang Hendardi.
Karena itulah, menurut dia, syarat menyerahkan LHKPN diawal-awal seleksi menjadi akal-akalan mereka untuk menggugurkan pihak yang tidak mereka sukai. Namun pansel KPK pantang didikte siapa pun.
Sebelumnya, ICW menilai hasil tes psikologi yang meloloskan 40 capim KPK belum memuaskan publik.
ICW menduga ada beberapa nama yang capim yang memiliki catatan masa lalu yang negatif.
“Mencermati nama yang dinyatakan lolos seleksi psikotes, rasanya tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa hasil seleksi pada tahapan ini tidak terlalu memuaskan ekspektasi publik,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Senin (5/8/2019).
Terdapat beberapa nama yang diduga mempunyai catatan serius pada masa lalu. Tentu poin ini mesti di-cross-check ulang oleh pansel.
“Jangan sampai ada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu terpilih menjadi komisioner KPK,” katanya.
ICW menyebut pansel masih mengabaikan terkait isu integritas. Kurnia menilai, dari sejumlah nama yang berasal dari penyelenggara negara itu, masih ada yang belum taat menyetorkan LHKPN tapi diloloskan oleh pansel.
“Hal ini bisa dilihat dari figur yang berasal dari penyelenggara negara ataupun penegak hukum yang dinilai abai dalam kepatuhan LHKPN masih juga tetap diloloskan oleh pansel,” ucapnya.
40 Nama Lulus Tes Psikologi
Pansel Capim KPK masa jabatan 2019-2023 mengumumkan 40 orang peserta seleksi capim KPK yang lolos tes psikologi. Ke-40 orang ini berasal dari bermacam-macam latar belakang profesi dan daerah.
Berikut ini 40 kandidat yang dinyatakan lolos tes psikologi (urutan berdasarkan abjad):
- Agus Santoso – Mantan PPATK
- Aidir Amin Daud – Pensiunan PNS
- Alexander Marwata – Komisioner KPK
- Antam Novambar – Anggota Polri
- Bambang Sri Herwanto – Anggota Polri
- Cahyo RE Wibowo – Karyawan BUMN
- Chandra Sulistio Reksoprodjo – Pegawai KPK
- Dede Frahan Aulawi – Komisoner Kompolnas
- Dedi Haryadi – Tim Stranas Pencegahan Korupsi KPK
- Dharma Pongrekung -Anggota Polri
- Eddy Hary Susanto – Auditor
- Eko Yulianto – Auditor
- Firli Bahuri – Anggota Polri
- Fontian Munzil – Dosen
- Franky Ariyadi – Pegawai Bank
- Giri Suprapdiono – Pegawai KPK
- I Nyoman Wara – Auditor BPK
- Jimmy Muhamad Rifai Gani – Penasihat Menteri Desa
- Johanis Tanak – Jaksa
- Joko Musdianto – PNS BPKP Perwakilan Lampung
- Juansih – Anggota Polri
- Laode Muhammad Syarif – Komisioner KPK
- Lili Pintauli Siregar – Advokat
- Luthfi Jayadi Kurniawan – Dosen
- Jasman Pandjaitan – Pensiunan Jaksa
- Marthen Napang – Dosen
- Nawawi Pomolango – Hakim
- Nelson Ambarita – PNS BPK
- Neneng Euis Fatimah – Dosen
- Nurul Ghufron – Dosen
- Roby Arya – PNS Seskab
32- Sigit Danang Joyo – PNS Kemenkeu
- Sri Handayani – Anggota Polri
- Sugeng Purnomo – Jaksa
- Sujanarko – Pegawai KPK
- Supardi – Jaksa
- Suparman Marzuki – Dosen
- Torkis Parlaungan Siregar – Advokat
- Wawan Saeful Anwar – Auditor
- Zaki Sierrad – Dosen
Dari ke-40 nama ini terlihat tidak muncul nama Irjen Pol Ike Edwin dan Basaria Panjaitan.
Selain Edwin, ada dua orang capim lainnya berlatar belakang Polri yang turut gagal dalam tes psikologi. Mereka adalah Brigjen Agung Makbul dan Kharles Simanjuntak.
Para capim yang lolos harus mengikuti seleksi tahap berikutnya yaitu profile assessment pada Kamis-Jumat, 8-9 Agustus 2019. Seleksi lanjutan itu akan digelar di Lemhanas, Jakarta Pusat.(JR)