Desakan agar dilakukan reformasi di institusi Mahkamah Agung (MA) terus bergulir. Sebagai ujung tombak menciptakan keadilan dan kepastian hukum, institusi itu diminta terbuka untuk melakukan pembersihan di internal.
Koodinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyampaikan, jika Indonesia memang hendak menjadikan hukum sebagai panglima dalam berbangsa dan bernegara, maka infrastruktur dan suprastruktur hukum di Negara ini harus bersih dari praktek-praktek melanggar hukum.
“Mahkamah Agung sebagai salah satu ujung tombak penegakan hukum, tentu tidak bisa dibiarkan dan hanya melayani kebutuhan internal mereka saja. Butuh keberanian dan kemauan untuk melakukan pembersihan di MA,” papar Petrus Selestinus, di Jakarta, Selasa (21/06/2016).
Menurut Petrus, selama ini upaya pembersihan mafia hukum di Indonesia berjalan sangat lamban, terutama di MA. Hal itu dikarenakan para hakim dan para pimpinan MA sendiri terlihat setengah hati untuk menegakkan keadilan hukum di Indonesia.
“Keadilan itu ya dimulai dari internal aparatur hukumnya sendiri dong. Hakim-hakim harus berpikir adil sejak awal, dan selanjutnya bertindak adil dan tidak korup. Di internal harus juga dibarengi dengan penindakan para hakim nakal atau hakim korup. Pastinya keputusan pengadilan yang diketuk oleh hakim korup dan nakal itu tidak adil kok,” papar pria yang juga Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) ini.
Lebih lanjut, Petrus menyampaikan, banyak hakim yang berpihak kepada kepentingan uang, dan dengan tega mengorbankan rasa keadilan masyarakat pencari keadilan. Jika hal itu terus berlangsung, kata dia, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi MA pun akan terus-menerus tergerus.
“Lama-lama masyarakat tidak percaya dengan hukum. Tidak percaya dengan hakim. Hukum bisa-bisa dianggap hanya alat untuk memenangkan perkara para kaum berduit, bukan menegakkan keadilan,” ujarnya.
Mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ini mengatakan, tidak ada kata lain, harus melakukan reformasi total dan pembersihan di tubuh MA.
“Sedih juga kita kalau hakim-hakim kita ternyata banyak yang korup, sedih juga jika para pegawai dan staf di MA malah nakal dan tidak menegakkan keadilan. MA harus dibersihkan,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Prof Dr Eman Suparman mendorong Presiden Jokowi agar membantu dilakukannya reformasi di lembaga MA. Menurut dia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MA sudah sangat rendah.
Indikator yang menunjukkan MA sudah tidak bisa dipercaya, menurut Eman, yakni banyak para hakim dan panitera yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk Sekjen MA Nurhadi.
“Jangan bermimpi ada seorang hakim yang tidak punya koneksi dengan para hakim agung di MA akan mendapatkan posisi baik, meskipun mereka itu sudah mengabdikan dirinya dengan baik puluhan tahun,” kata Eman dalam diskusi terbatas yang diselenggarakkan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI), di Jakarta.
Menurut mantan Komisioner KY itu, perlu juga dipikirkan pola rotasi hakim yang berkeadilan, sebab, selama ini hal itulah yang membuat banyak hakim frustasi karena rotasi dan rekrutmen di MA tidak jelas parameternya.
Menurut dosen Universitas Padjajaran itu, rotasi dan promosi para hakim didasarkan atas kinerja yang dilihat dari output putusannya, dan rekam jejak para hakim itu bukan karena kedekatan dengan pejabat.
“Itu sebabnya, bila Sekjen MA nanti menjadi terdakwa, tidak mungkin para hakim yang mengadilinya berani memutuskan secara objektif karena nasib para hakim di masa lalu banyak ditentukan oleh sekjen tersebut,” ujarnya.
Bahkan, diungkapkan dia, kini muncul pemahaman bahwa kewenangan sekjen MA itu tidak lebih besar dari ketua MA.
“Sejumlah fakta di lapangan, terlihat bahwa sekjen MA lebih ditakuti oleh para hakim dibanding ketuanya,” pungkas dia.(JR)