Dari sebuah kampun bernama Desa Bontomanai, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Tim Kuasa Hukum Muhammad Basir, Wahyu Nugroho dan Sunandi bersama sejumlah rekannya mendatangi Kompleks Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta, pada Rabu (24/07/2019).
Kedatangan mereka untuk mengadukan persoalannya di kampungnya kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung.
Wahyu Nugroho menuturkan, mereka hendak ke kantor Jamwas, untuk menyampaikan betapa lambannya penanganan kasus yang terjadi di Kampung Bontomanai.
“Ada penanganan kasus dugaan pemalsuan surat tanah di Kampung Bontomanai, Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang sangat amat lamban proses penanganannya. Jadi, kami hendak mengadukan perkara yang penanganannya terkesan jalan di tempat itu,” jelas Wahyu.
Mereka memang berniat mendatangi Kejagung, untuk meminta kepastian hukum. Hingga kini, di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, kasus itu tak kunjung digubris.
“Kami butuh kepastian hukum yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah klien kami. Padahal berkasnya sudah P21 (lengkap) dari Polda Sulsel, namun Kejaksaan Tinggi Sulsel justru belum melimpahnya ke Pengadilan Negeri Makassar,” ungkap Wahyu.
Dia pun menerangkan, berdasarkan Pasal 50 ayat 2 KUHAP, Kejaksaan wajib melimpahkan perkara ke pengadilan apabila berkasnya dinilai sudah lengkap. Ketentuan itu diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Tindak Pidana Umum.
Perlu ada konsistensi antara apa yang diidealkan kejaksaan dengan kenyataannya di masyarakat.
“Kami memohon kepada Kejagung untuk segera menindaklanjuti di tingkat bawah, anak buahnya di Kejati Sulsel untuk segera melimpahkan kasusnya ke pengadilan,” pintanya.
Di tempat yang sama, Sunandi menambahkan, perkembangan penanganan kasus tanah di daerah seolah tidak sejalan dengan harapan Presiden Joko Widodo.
Menurut dia, Kepala Negara pernah menegaskan, pemerintah lebih mengutamakan masyarakat yang terzalimi, seperti kasus sengketa tanah.
“Klien kami orang yang tidak punya dan sudah puluhan tahun berjuang demi haknya. Namun ternyata ada institusi yang justru menghambat pergerakan kasus ini,” terang Sunandi.
Ia berharap, pimpinan Kejagung segera merespons laporan mereka. Ditegaskannya, durasi penanganan kasus itu telah melampaui batas waktu yang ditentukan UU. “Semoga ini bisa menjadi masukan bagi Jamwas Kejaksaan Agung,” ujarnya lagi.
Persoalan itu sudah masuk ke kepolisian pada 2017. Saat itu, Muhammad Basir yang adalah ahli waris tanah seluas 6,2 hektar di Kampung Bontomanai melaporkan ke Korps Bhayangkara. Basir menggugat PT Jafpa Comfeed Indonesia yaitu perusahan pakan ternak yang menguasai lahan tanpa sepengetahuannya.
Dalam perkembangannya, ditemukan bukti bahwa lahan milik Basir dijual oleh Almarhum Hendro Satrio kepada Panca Trisna dengan dugaan pemalsuan sertifikat. Bahkan, Panca pun kembali menjualnya kepada PT Jafpa Comfeed Indonesia.
Atas laporan Basir waktu itu, pihak kepolisian langsung memasang garis polisi di lokasi lahan. Pemasangan police line dilakukan pada 7 Februari 2018. Saat ini pun, lahan seluas 6,2 hektar itu sudah menjadi pabrik milik PT Jafpa Comfeed Indonesia. Polda Sulsel pun masih memasang police line di lokasi sengketa.
Kepolisian juga menetapkan Panca Trisna dan Sudarni yakni para pensiunan pegawai BPN Makassar, sebagai tersangka.
“Ironisnya, setelah berkas dilimpahkan kepolisian pada Juli 2018, Kejati Sulsel justru enggan menuntaskan perkara ke meja hijau,” ujar Sunandi.(JR)