Sejauh ini pemerintah dan aparat penegak hukum dianggap masih abai terhadap para korban terorisme. Dalam peringatan peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002, pemerintah kembali diperingatkan akan perlunya penguatan perlindungan bagi saksi dan korban terorisme. Peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan sebanyak 209 lainnya mengalami luka-luka menjadi salah satu serangan terorisme di Indonesia dengan jumlah korban terbanyak.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Ajeng Gandini Kamilah menuturkan peringatan peristiwa Bom Bali I patut menjadi momen penting bagi pemerintah untuk memberikan dukungan yang sebesar-besarnya kepada para korban. Khususnya bagi para survivor di Indonesia yang belum tersentuh layanan keadilan secara memadai.
“ICJR melihat masih banyak survivor Bom Bali I yang masih mengalami penderitaan, trauma dan penurunan kualitas hidup setelah mengalami peristiwa tersebut,” katanya, Jumat (13/10/2017).
Data layanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2017 menunjukkan masih sedikit jumlah korban Bom Bali I yang mampu mengakses layanan bantuan medis, psikologis dan psikosial dari negara.
Tercatat sejak tahun 2016 dan 2017 jumlah korban yang mendapatkan layanan bantuan medis, psikologis dan psikososial di LPSK hanya sebanyak 36 orang. Dari 36 orang yang masih aktif di tahun 2017 sebanyak 26 korban sedangkan 10 orang layanan telah ditutup. Namun LPSK lah satu satunya lembaga resmi yang saat ini melakukan layanan bagi korban Bom Bali I.
Terkait pemberian kompensasi, secara formal tidak ada satu pun korban yang tercatat mendapat pemberian kompensasi oleh negara jika didasarkan pada putusan pengadilan sesuai dengan mekanisme Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Pemberian kompensasi berdasarkan putusan pengadilan baru diberikan pada kasus Bom Mariot dan kasus Bom Samarinda 2017 dan kompensasi ini pun belum dieksekusi,” ujar Ajeng.
ICJR sendiri terus mendorong secara aktif upaya kompensasi korban dalam Revisi UU Terorisme yang saat ini sedang dibahas DPR agar tidak melulu digantungkan kepada putusan pengadilan. Mekanisme yang ada sekarang jelas mempersulit para korban untuk mengakses kompensasi jika kasusnya telah selesai dalam pengadilan.
ICJR juga mendorong langkah-langkah aktif lembaga-lembaga negara untuk memperkuat layanan bagi para survivor Bom Bali I. “Langkah langkah ini harus di lakukan dengan cara cara memperkuat layanan, memperkuat porsi anggaran bagi korban dan mulai menyusun -memverifikasi jumlah survivor agar dapat mengakses layanan korban,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menuturkan dasar hukum pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme diatur oleh dua undang-undang, yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Oleh karena diatur oleh dua undang-undang sekaligus, maka perlindungan dan pemenuhan hak korban terorisme dianggap sudah sangat kuat, baik hak untuk mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial maupun kompensasi. “Bagaimana mekanisme korban terorisme mengakses hak-haknya, termasuk dalam hal kompensasi, ini yang belum diatur perundang-undangan. Dalam pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, inilah salah satu hal yang akan disempurnakan,” katanya.
Semendawai memaparkan, hingga saat ini LPSK tengah memberikan sebanyak 118 layanan bagi korban terorisme, terdiri dari bantuan medis sebanyak 38 layanan, rehabilitasi psikologis 29 layanan, rehabilitasi psikososial 28 layanan dan fasilitasi kompensasi sebanyak 18 layanan.
Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu menambahkan, awalnya fokus pada pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya fokus pada pencegahan, penindakan dan deradikalisasi. Kemudian LPSK berinisiatif agar perlindungan saksi dan korban dapat diatur dalam revisi UU. “Hanya ada 6 pasal tentang perlindungan saksi dan korban dalam UU tersebut,” ungkapnya.
Menurut Edwin, pada kenyataannya banyak hal yang dibutuhkan korban namun belum ter-cover dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan harus dimasukkan dalam revisi UU Terorisme. Hal tersebut belajar dari pengalaman LPSK dalam melakukan pemenuhan hak korban terorisme selama ini, seperti penanganan sesaat bagi korban setelah terjadinya peristiwa terorisme.
Dalam memberikan bantuan kepada korban dibutuhkan surat keterangan korban dari penyidik. Terkait itulah, dalam pembahasan revisi UU Terorisme, dimasukkan kewajiban penyidik untuk menetapkan siapa saja korban dalam suatu peristiwa terorisme.
Sedangkan untuk kompensasi, dalam praktik selama ini dimasukkan dalam tuntutan. “LPSK meminta agar kompensasi sudah masuk sejak penyidikan. Ini penting agar proses kompensasi terus dibawa dari mulai penyidikan hingga sidang,” ujar Edwin.(JR)