Niat pemerintah pusat untuk membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT) untuk pengembangan sektor parwisata di Kawasan Danau vulkanik terbesar di dunia itu, tak mulus.
Jika hanya untuk tujuan bisnis dan pengembangan pariwisata, maka pembentukan Badan Otorita Danau Toba itu hanyalah akan menimbulkan konflik berkepanjangan di Kawasan Danau Toba.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menyampaikan, basis utama pembentukan BODT harus pada masyarakat adat. Tanpa itu, maka niscahya angan-angan memajukan pariwisata hanyalah mimpi buruk.
“Jika Badan Otorita itu dimaksudkan untuk membangun kawasan Danau Toba secara terpadu dengan berbasis masyarakat adat, dan bukan hanya untuk urusan pariwisata saja, maka pembentukannya layak diapresiasi. Tetapi tanpa basis masyarakat adat, tentu akan banyak konflik di masyarakat, konflik horizontal antar masyarakat, dan konflik vertikal masyarakat dengan investor,” ujar Abdon Nababan, di Jakarta, Rabu (23/03/2016).
Menurut Abdon, konsep yang dibangun pemerintah pusat saat ini dalam pembangunan Badan Otorita Danau Toba hanyalah sebagai tujuan atau destinasi wisata semata.
“Dari konsep yang ada saat ini, nampaknya badan otorita ini hanya dimaksudkan untuk mendorong Kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata yang mengandalkan keindahan alamnya. Belum terlihat adanya kekuatan budaya yang ada di masyarakat,” ujar dia.
Nah, menurut Abdon, dalam posisi kosepsi seperti itulah keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya terabaikan dan dianggap tak perlu oleh pemerintah pusat.
“Dari konsep yang ada saat ini, keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, termasuk hak atas wilayah dan tanah adat, tidak menjadi agenda penting yang akan ditangani oleh BODT,” ujar Abdon.
Karena itu, lanjut dia, harus ada konsepsi yang serius dan disepakati oleh seluruh masyarakat di Kawasan Danau Toba tentang rancang bangun yang berbasis pada masyarakat adat dalam mewujudkan Badan Otorita Danau Toba itu.
“Saya merekomendasikan agar pembangunan Kawasan Danau Toba sejak awal dirancang untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan memfasilitasi serta memperkuat peran masyarakat adat sebagai aktor atau subjek pembangunan, termasuk pariwisata,” papar Abdon.
Dia pun mengingatkan, bahwa pemerintah pusat tidak terbuka dalam upaya pengembangan Kawasan Danau Toba (KDT( itu, sebab tidak membuka ruang bagi masukan dan peran serta masyarakat adat di dalamnya.
Sejumlah kepentingan tersembunyi dan bahkan ditunggangi oleh kepentingan bisnis yang bisa merusak Kawasan Danatu Toba pun bisa saja terjadi lewat cara-cara yang sedang dilakukan oleh pemerintah.
“Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sendiri tidak terlibat dalam proses perumusan gagasan dan kebijakan BODT selama ini. Saya tidak begitu paham kepentingan-kepentingan siapa saja yang bermain di BODT,” pungkasnya.(JR-1)
2 Comments
Johansen Silalahi
….bisa tidak dengan bahasa yang lebih populer apa kira-kira ‘berbasis masyarakat adat’, jangan kita yg menjadi hambatan ketika Pemerintah memberikan perhatian ke Toba yang memang sejak Orla tdk pernah diperhatikan…bahkan ketika Orba Toba makin parah dengan kantong-kantong kemiskinan. Kalau dikritisi kita mulai dari Perpers 81 Tahun 2014. Kalau peraturan ini sudah kita terima mari kita lihat Badan Otorita yang akan dibentuk relepan tidak ?…sejak tahun 80an Toba dibiarkan merana lihatlah generasi muda di Samosir sudah membangun rumah seperti layaknya didaerah/kota lain sdh ditinggalkan Rumah Adat….mestinya kita sediakan ‘karpet merah’ untuk pemerintah…Salam
redaksi
Terimakasih atas responnya. Apa yang disampaikan dalam respon anda ini pun menjadi perhatian bersama hingga kini. Trmksh