Majelis Hakim Praperadilan dianggap telah merampas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dalam fungsi penetapan status tersangka.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara gugatan Praperadilan No. 24/Pid.Prap/2018/PN. JS, tertanggal 9 April 2018 telah melampaui batas kewenangannya sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dijelaskan Petrus, dengan putusan yang memerintahkan KPK untuk menetapkan mantan Wakil Presiden Boediono sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Penetapan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik, telah menabrak kewenangan yang dimiliki penyidik KPK.
“Itu telah melampaui kewenangan,” ujar Petrus, Kamis (12/04/2018).
Dia menegaskan, KUHAP secara limitatif telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada Penyidik untuk mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan.
“Serta harus didukung dengan sekurang-kuranya dua alat bukti,” tutur Petrus.
Keberadaan minimal dua alat bukti sebagai syarat dalam menentukan dan menetapkan seseorang menjadi tersangka itulah oleh Undang-Undang KUHAP dan UU KPK hanya diberikan kepada Penyelidik dan Penyidik di Kepolisian, Kejaksaan, KPK.
“Dan sama sekali tidak kepada Hakim Praperadilan,” tegasnya.
Dalam praktek Peradilan, lanjut dia, perluasan wewenang Hakim termasuk Hakim Praperadilan untuk mengisi kekosongan Hukum Acara, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang oleh Hakim.
Undang-Undang Mahkamah Agung RI telah memberikan wewenang itu kepada Ketua Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung.
Hal ini diatur di dalam ketentuan pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
“Apalagi KPK tidak punya wewenang untuk menghentikan penyidikan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Petrus.
Dia menegaskan, Putusan Praperadilan Hakim Effendi Muktar, secara tidak langsung telah mengintervensi wewenang Penyidik seluruh instansi penyidik, termasuk KPK, yang oleh UU diberi wewenang berdasarkan pertimbangan subyektif untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak.
Hakim Praperadilan bukanlah penyelidik dan bukan penyidik, karena itu kewenangan menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak sepenuhnya menjadi wewenang secara dominus litis Penyidik.
Peturs pun menganggap Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu telah menyalahgunakan wewenang Praperadilan.
“Hakim Praperadilan PN Jaksel itu malah memperluas kewenangannya sendiri, bahkan mengambil alih kewenangan Ketua MA,” ujarnya.
Petrus pun meminta MA segera merespons sikap Hakim Effendi Muktar karena telah mengintervesi wewenang Penyidik KPK dengan memperluas sendiri wewenang Praperadilan.
Jika Hakim Effendi Muktar menganggap ada Kekosongan Hukum untuk mengontrol Penyidik KPK dalam kerja penyidikan, maka terhadap kekosongan Hukum Acara dimaksud, hanya boleh diatasi dengan menciptakan hukum baru yaitu dengan UU atau dilakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan pasal 79 UU Mahkamah Agung.
“MA harus segera menindak hakim itu,” pungkasnya.
Aktivis LBH dan Praktisi Hukum Lambok Gurning menyarankan, KPK tak perlu menggubris putusan praperadilan itu. Sebab, KPK sendiri sudah memiliki mekanisme dan garansi yang ditetapkan UU dan KUHP dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
“Tak perlu digubris putusan praperadilan begitu itu. KPK sebagai penyidik sudah jelas kok kewenangan, tugas dan fungsinya. Hakim Praperadilan seperti itu kepingin tenar aja kali,” ujar Lambok.
Dia pun meminta MA segera memroses hakim itu, sebab jika selalu mengandalkan keyakinan hakim dalam memutus dengan mengabaikan rambu-rambu yang sudah ada, maka ada unsur kesengajaan mengintervensi kewenangan KPK.
“Hakim sih hakim, ya enggak bisa sesuka-sukanya dong. MA harus segera menindak hakim seperti itu. Merusak proses hukum itu namanya putusan seperti itu,” pungkas Lambok.(JR)