Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah (SUSU) dianggap masih setengah hati.
Peraturan yang sudah diteken dan disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri pada 21 Maret 2017 itu ternyata belum menjadi solusi yang diharapkan dalam persoalan pengupahan di Indonesia.
Padahal, menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) Timboel Siregar, kehadiran Permenaker itu sudah ditunggu lama.
“Sudah lama ditunggu agar pasa 14 Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 bisa dioperasikan dan bisa menciptakan sistem pengupahan yang lebih transparan,” tutur Timboel Siregar, Rabu (23/07/2017).
Tadinya, lanjut Timboel, harapan dengan terbitnya Permenaker tentang SUSU ini bisa menjadi solusi bagi pemerintah untuk memecahkan masalah pengupahan. Seharusnya, amanat Pasal 14 PP No 78/2015 yang dituangkan dalam Permenaker Nomor 1 Tahun 2017 ini bisa dijadikan untuk mendapatkan kepastian upah di atas upah minimum yang berlaku bagi pekerja yang sudah bekerja di atas satu tahun, sehingga gonjang ganjing pengupahan akibat Pasal 44 PP No 78/2015 bisa diminimalisir.
“Namun setelah membaca Permenaker ini, sepertinya harapan tersebut hanya sebatas isapan jempol saja,” ujarnya.
Menurut Timboel, kehadiran Permenaker Nomor 1 Tahun 2017 tentang SUSU ini penuh keanehan.
Dijelaskan dia, dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 yang mengatur SUSU, hanya sebatas upah pokok, tidak termasuk tunjangan tetap, maka kemungkinan pembayaran upah di bawah upah minimum akan tetap berpeluang terjadi.
Bila dalam SUSU tersebut upah pokok dibuat di bawah upah minimum dengan alasan ada tunjangan tetap sehingga upah pokok ditambah tunjangan tetap lebih dari upah minimum yang berlaku. “Bagaimana pekerja akan tahu nilai tunjangan tetapnya bila tidak dimuat di Struktur dan Skala Upah,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, ketentuan ini juga akan mengaburkan kewajiban pengusaha untuk membayar iuran jaminan sosial berdasarkan upah pokok + tunjangan tetap.
Menurut Timboel, dengan ketentuan pasal 8 ayat 3, maka kemungkinan pekerja hanya diberitahukan tentang struktur skala upah untuk golongan jabatan, sesuai jabatan pekerja yang bersangkutan. Shingga, pekerja tidak tahu struktur dan skala upah secara utuh.
“Kondisi ini akan tetap tidak menciptakan keterbukaan dalam pengupahan. Dengan adanya ketidakterbukaan ini maka akan ada kecurigaan terkait praktek diskriminasi pengupahan,” ujarnya.
Diungkap Timboel, permenaker ini juga seharusnya menekankan kata “memberitahukan” dengan makna hard copy SUSU diberikan ke setiap pekerja. “Jadi tidak hanya diberitahukan secara lisan. Kalau hanya secara lisan maka pekerja akan menjadi lupa beberapa hari kemudian. Pekerja tidak punya bukti tentang struktur dan skala upah itu bila dikemudian hari ada perselisihan,” ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, pada pasal 9 ayat 2 dan 3 di Permenaker ini, mereduksi kata “melampirkan” menjadi “memperlihatkan”.
Menurut Timboel, seharusnya kata “melampirkan” berarti struktur dan skala upah menjadi satu kesatuan dengan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Sangat aneh, lanjut Timboel, bila pejabat Disnaker hanya disuruh melihat saja dan setelah itu mengembalikan struktur skala upah pada saat itu juga ke pengusaha.
Kalau hanya memperlihatkan saja dan langsung dikembalikan pada saat itu juga, tegas Timboel, maka fungsi pejabat Disnaker untuk melakukan pengecekan secara lebih teliti dan melakukan pengawasan dalam proses implementasi struktur dan skala upah tersebut di tempat kerja tidak ada.
“Kalau pejabat disnaker tidak memiliki dokumen SUSU tersebut, bagaimana pejabat Disnaker bisa meng-kroscek bila ada laporan penyimpangan pelaksanaan SUSU oleh manajemen? Kalau hanya memperlihatkan saja artinya Permenaker Nomor 1 Tahun 2017 ini sangat meragukan integritas pejabat Disnaker,” ujarnya.
Selain itu, bila pejabat Disnaker hanya diperlihatkan saja, maka bisa saja pengusaha membuat SUSU dengan asal-asalan. Atau, SUSU perusahaan lain yang hanya diganti nama saja, padahal perusahaan tersebut sesungguhnya tidak punya SUSU.
Timboel mengatakan, Permenaker ini sudah mereduksi semangat kehadiran Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.
“Permenaker ini dibuat dengan setengah hati, tidak dibuat untuk mendapatkan solusi tentang sistem pengupahan di negara kita. Permenaker ini malah berpotensi menjadi sumber masalah baru bagi hubungan industrial kita,” pungkas Timboel.(JR)