Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar jumpa pers memperingati 58 Tahun Tri Komando Rakyat (Trikora) Pembebasan Irian Barat.
Dalam jumpa pers yang digelar di Cafe Diskaz Labor House, Jalan Panglima Polim V No. 4, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa (17/12/2019) itu, para mahasiswa menyatakan sikap politiknya, dan menyerukan mendukung hak penentuan nasib sendiri Bangsa West Papua.
Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Rico Tude menyampaikan, sejak bergabung dengan Negara Republik Indonesia, West Papua terus mengalami kejahatan kemanusiaan, pembungkaman aspirasi politik dan tindakan diskriminasi maupun rasialisme yang menjadikan Rakyat Papua sebagai korban.
Dia menjelaskan, 58 tahun lalu, persis tanggal 19 Desember, di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta, Presiden Republik Indonesia Soekarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua Barat yang telah dideklarasikan pada 1 Desember 1961.
Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Sekarang Papua) kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer dengan nama Operasi Mandala ke Wilayah Papua Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Dia menegaskan, Trikora yang bertujuan untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat sebagai bagian dari Negara Indonesia merupakan awal malapetaka bagi rakyat dan bangsa Papua yang baru 18 hari mendeklarasikan kemerdekaannya.
“Kehadiran militer Indonesia di Papua telah merampas hak politik bangsa Papua dan Trikora adalah bagian dari usaha awal Negara Indonesia untuk mengkolonisasi West Papua,” ujar Rico Tude.
Jika kilas balik ke sejarah itu, lanjutnya, ironis bahwa tanggal dan tempat itu dipilih dengan pertimbangan untuk memperingati Agresi Belanda II terhadap Indonesia pada tahun 1948 dengan pengeboman atas Yogyakarta di Maguwo.
Yogyakarta juga dipilih untuk mengenang usaha pengusiran Belanda dari Batavia oleh Sultan Agung.
“Tanggal dan tempat yang sarat dengan ingatan tentang semangat pembebasan atas penjajahan itulah yang dipakai untuk menyerukan penjajahan baru,” katanya.
Sudah 58 tahun berlalu, sejak aneksasi yang dilakukan oleh Indonesia pada West Papua. Setengah abad bukan rentang waktu yang sebentar, tapi apa yang terjadi dan sampai sekarang belum berhenti tetaplah sama.
“Kecurangan dan manipulasi sejarah, diskriminasi rasialis, genosida perlahan, penjarahan kekayaan alam, distorsi informasi, penangkapan dan penculikan, penyiksaan, serta pemenjaraan,” lanjutnya.
Belum lama ini, dia menjelaskan, masih membara dalam ingatan kejadian di Surabaya bulan Agustus lalu. Ketika kawan-kawan West Papua dipaksa untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Mereka dipaksa mengibarkan bendera merah putih, difitnah merusak tiang bendera itu dan menjatuhkannya ke selokan. Tapi tentu saja itu belum cukup. Mereka kemudian diserang oleh sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi reaksioner, diancam, diusir, bahkan diteriaki dengan rasialis.
“Perlakuan diskriminatif ini memicu protes di banyak tempat, baik di West Papua maupun Indonesia. Dari protes itu kita tahu, rakyat bangsa West Papua semakin sadar bahwa mereka akan terus menjadi sasaran diskriminasi rasialis di bawah kolonialisme,” ujarnya lagi.
Dia melancarkan protesnya. “Tapi apa jawaban terhadap protes-protes itu? Tentu saja tak jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Manipulasi dilakukan untuk menggiring protes menjadi kerusuhan yang sampai menelan korban jiwa, para pemimpin perlawanan West Papua dikambinghitamkan, diburu dan ditangkap secara sewenang-wenang,” lanjutnya.
Pelanggaran atas kebebasan berekspresi yang terjadi, dalam peringatan 1 Desember lalu, ada 54 orang ditangkap di tiga lokasi berbeda di Fak-fak.
“Jurnalis yang meliput peristiwa tersebut mendapat intimidasi dari aparat, dan dipaksa menghapus kerja jurnalistiknya,” bebernya.
Di Ambon, lanjutnya, aksi solidaritas dipaksa bubar oleh aparat dan massa aksi mendapat ancaman. Pada tanggal 2 Desember, TNI-Polri melakukan represi terhadap aksi damai FRI-WP dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) di Ternate.
“Kawan-kawan kami dipukul, ditendang, diinjak hingga berdarah-darah. Ada 10 kawan kami ditangkap sebelum akhirnya dibebaskan,” imbuhnya.
Tahun ini, menurut Rico, sedikitnya 104 orang Papua ditahan karena melakukan aksi unjuk rasa, 41 orang diantaranya ditahan dengan delik makar, termasuk Surya Anta yakni Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua.
Pada 10 Desember lalu, Surya Anta bersama 5 aktivis West Papua yang ditahan telah selesai menjalani sidang Praperadilan.
Hakim memutuskan untuk menolak keseluruhan poin yang diajukan oleh para mahasiswa. Alih-alih mempertimbangkan bukti terkait prosedur-prosedur yang tidak sah saat proses penangkapan, hakim malah berkonsentrasi pada hal-hal yang tak substansial.
“Tapi, kita memang sedang menyaksikan bagaimana hukum dalam pemerintahan kolonial dipakai untuk meredam perlawanan dari bangsa terjajah. Kami mengecam penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan pemerintah Indonesia pada rakyat dan bangsa yang berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri,” jelasnya.
Rico mengatakan, Surya Anta hanyalah salah seorang dari bangsa penjajah (Indonesia) yang bersolidaritas terhadap perjuangan bangsa terjajah untuk penentuan nasib sendiri.
Penahanannya tak akan menyurutkan solidaritas bagi hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua.
“Kita percaya bahwa telah lahir dan akan terus lahir generasi rakyat Indonesia yang berani mendengar dan menyuarakan hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua,” jelasnya.
Setengah abad barangkali bukan rentang waktu yang sebentar untuk bisa menaruh hormat terhadap kemanusian, tapi setengah abad adalah rentang waktu yang cukup bagi penderitaan untuk melahirkan perlawanan bagi bangsa yang terjajah dan menumbuhkan solidaritas dari bangsa penjajah.
“Solidaritas terhadap perjuangan bangsa West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri merupakan bagian integral dari perjuangan demokratisasi di Indonesia dan perjuangan melawan imperialisme di dunia,” jelasnya.
Roland dari Aliansi Mahasiswa Papua menegaskan, mereka mendukung hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua.
Para mahasiswa juga mendesak agar segera dibebaskan seluruh tahanan politik West Papua. “Termasuk Surya Anta, tanpa syarat,” ujar Roland.
Pada momen ini, dia mengecam pelarangan berpendapat, kekerasan fisik dan penangkapan terhadap pihak-pihak yang bersolidaritas pada perjuangan Bangsa West Papua.
“Kami meminta, tarik militer organik dan non-organik dari tanah West Papua,” lanjutnya.
Dia juga menyerukan agar segera menghentikan operasi militer di Kabupaten Nduga, Papua.
Serta meminta PBB untuk bertanggung jawab, serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.
“Menyerukan kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional untuk bersolidaritas pada perjuangan Bangsa West Papua,” ujar Roland.
Para perwakilan mahasiswa yang menyatakan sikap politiknya dalam konperensi pers itu adalah Rahman dari Komunitas Pembebasan, Pranadipa R Syahputra juga Jubir FRI-WP, Suarbudaya Rahadian dari GKA Reformist Baptis Salemba, Rico Tude Jubir FRI-WP dan Roland dari Aliansi Mahasiswa Papua.(JR)