Aparat penegak hukum Indonesia, yakni Polisi dan Jaksa diminta bergerak dengan serius untuk membongkar dan mengusut adanya praktik mafia impor pangan dan permainan mafia di sektor pertanian Indonesia.
Selama ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering menyebut adanya mafia dalam impor dan praktik mafia di sektor pangan dan pertanian, namun hingga kini tidak ada mafianya yang benar-benar ditangkap dan dihukum oleh aparat penegak hukum.
Bahkan, sejak awal, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla begitu getol menyampaikan bahwa semua praktek mafia di berbagai sektor, mulai dari mafia Migas, mafia hukum, mafia pencurian ikan, dan mafia impor pangan dan sektor lainnya, harus dibersihkan dan ditindak tegas. Nyatanya, hingga dua tahun pemerintahan ini berjalan, belum ada satu pun yang disebut sebagai mafia impor dan mafia sektor pangan dan pertanian yang ditangkap dan diadili. Karena itu, kepolisian dan kejaksaan diminta tidak masa bodo atau malah menganggap itu hanya angin lalu saja. Semua praktik mafia itu harus dibongkar dan diusut tuntas.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, kinerja pemerintah dan aparat hukum untuk memberantas mafia impor dan mafia sektor pangan maupun pertanian perlu dibuktikan.
“Polisi dan jaksa harus bertindak membongkar dan mengusut tuntas para mafia, para penimbun pangan yang menyebabkan Indonesia terus menerus terpuruk dalam impor dan mahalnya kebutuhan pangan di Negara yang agraris ini,” papar Henry Saragih, Sabtu (11 Juni 2016).
Henry yang juga Koordinator La Via Campesina–organisasi Gerakan Petani Sedunia-ini menyampaikan, selama ini dugaan-dugaan adanya praktik mafia pangan tidak pernah ditindaklanjuti secara nyata oleh aparatur hukum Indonesia. Padahal, sangat nyata dan kasat mata, bahwa praktik mafia impor, mafia pangan, mafia pertanian itu benar-benar terjadi di Indonesia.
“Saya pernah diundang oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk berdiskusi tentang upaya penegakan hukum dan memberantas mafia itu. Bahkan, beberapa posisi hukum di sektor pangan dan pertanian harus dibuat untuk menghindari adanya praktik mafia itu. Nyatanya, hingga kini tak ada, ya berlalu begitu saja,” ujar Henry.
Hingga kini, menurut Henry, tidak ada strategi dan upaya memberantas mafia impor pangan dan pertanian yang dilakukan oleh Negara ini. Bahkan, dengan sangat sadar malah memberikan kewenangan kepada pihak swasta untuk melakukan monopoli dan penguasaan hajat hidup orang banyak, seperti kebutuhan akan pangan itu.
Semua sumber pangan dan produk pangan Indonesia hari ini, kata Henry, dikendalikan oleh pihak swasta dan mafia yang bermain di dalamnya.
“Minyak goreng saja, dikuasi oleh perusahaan swasta. Harga minyak goreng malah dikontrol oleh Sinar Mas. Harga minyak goreng melambung tinggi, padahal harga CPO (Crude Palm Oil) sedang turun, kok bisa pula harga minyak goreng mahal. Lalu dimana pemerintah? Kemana saja pemerintah Indonesia?” ujar Henry.
Padahal, lanjut dia, sangat jelas dan sangat tegas bahwa Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara untuk melindungi kebutuhan pangan Indonesia. Bahkan, sejumlah regulasi dan perundang-undangan untuk melaksanakan sudah pula ada, tetapi tak pernah diterapkan secara konsisten oleh pemerintah, terutama oleh aparatur penegak hukum seperti polisi dan jaksa.
Henry mengingatkan, di Indonesia, sudah ada sejumlah regulasi dan perundang-undangan tentang pangan dan pertanian, seperti Undang Undang Pangan, Undang Undang Pengembangan Lahan Berkelanjutan, Undang Undang Pemberdayaan Sumber Daya Petani, termasuk Nawacita. Menurut Henry, semua itu merupakan perangkat sah dan legak untuk memberantas mafia impor dan mafia sektor pangan dan pertanuan.
“Namun kenapa semua itu ditinggalkan oleh pemerintah? Kenapa tidak diterapkan oleh aparat penegak hukum? Nah ini yang aneh. Bilang mau berantas mafia, tetapi mafianya malah bebas berkeliaran,” ujar Henry.
Sebelumnya, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) melakukan kerja sama dengan beberapa instansi, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memburu para mafia pangan.
KPK berjanji akan membantu KPPU menangani persoalan mafia dengan membagi informasi langsung kepada KPPU untuk bisa ditangani lebih lanjut.
“Salah satu fokus yang dikerjakan KPK itu korupsi di bidang pertanian. Karena itu menyangkut kemaslahatan orang banyak. Setelah kami lihat ternyata ada beberapa unsur korupsi di dalamnya,” ungkap Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif usai perayaan ulang tahun KPPU ke-16 di Gedung KPPU, Jakarta Pusat (07/06/16).
Pada kesempatan itu, Laode mengungkapkan bahwa beberapa titik di sektor pangan yang rawan adanya praktik korupsi antara pembuat kebijakan dan pebisnis.
“Unsur korupsi ini diantaranya kuota impor yang berhubungan dengan sapi dan subsidi rawan korupsi, misalnya komoditas pupuk yang kita tetapkan tersangka dan bansos, di pertanian juga banyak dikorupsi pemda-pemda,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan praktik korupsi ini bisa dicegah dengan memotong rantai distribusi yang terlalu panjang saat ini.
Beberapa solusi jangka pendek dan jangka panjang menurutnya bisa menjadi pencegah dan penghambat praktik mafia pangan.
“Solusinya, adalah jangka pendek, seperti operasi pasar besar-besaran dengan menggandeng produsen-produsen. Solusi jangka panjangnya adalah toko tani Indonesia, tujuannya memotong rantai pasok. Ini akan buat konsumen untung dan tersenyum, pedagang makmur,” ujar Amran.(JR)