Pada Selasa, 14 Juli 2020, persidangan warga Kabupaten Kepulauan Meranti, Rustam Bin Kartawirya seorang buruh bangunan berlanjut dengan agenda pembacaan duplik oleh Penasihat Hukum Terdakwa.
Sebelumnya, agenda persidangan dengan Nomor Perkara 187/Pid.B/LH/2020/PN.Bls di Pengadilan Negeri Bengkalis, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan replik terhadap nota pembelaan (pledooi) Penasihat Hukum Terdakwa.
Pada duplik Penasihat Hukum Rustam menyebutkan, Jaksa mencoba mencari literasi di luar dari UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terkait pengertian lahan karena dalam UU tersebut tidak dijelaskan pengertian lahan.
Pada penjelasan umum UU RI Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menjelaskan, UU Perkebunan secara khusus untuk menjerat pelaku usaha yang besar dan tidak cocok dijadikan landasan yuridisuntuk menjerat masyarakat miskin, seperti Terdakwa Rustam.
Dalam fakta persidangan juga sudah terungkap bahwa pekerjaan Rustam adalah buruh bangunan. Dan fakta tersebut tidak terelakkan lagi.
Penasihat Hukum Rustam, Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru menyampaikan, secara filosofis pembentukan UU Perkebunan diperuntukkan bagi perkebunan dengan skala luas.
Hal itu tertuang dalam penjelasan umum UU Perkebunan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, meningkatkan sumber devisa negara, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha, meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar, meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri, memberikan pelindungan kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat, mengelola dan mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan lestari, dan meningkatkan pemanfaatan jasa Perkebunan.
“Artinya Undang-Undang ini dibuat untuk perkebunan skala luas bukan yang termasuk terdakwa yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh,” jelas Noval Setiawan.
UU Perkebunan yang menjadi landasan yuridis sebagai dakwaan maupun tuntutan tidak terbukti pada Terdakwa. Karena berdasarkan pasal 1 angka 9 UU RI Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, subjek hukum dalam UU ini yang melakukan pembukaan lahan atau mengelola dikategorikan sebagai pekebun.
“Jika dikaitkan dengan fakta persidangan, Rustam tidak membuka lahan untuk mengelola lahan seperti argumentasi Jaksa, kegiatan Rustam dengan maksud untuk membuat acara akikah untuk anaknya yang baru lahir,” kata Noval Setiawan.
Fakta yang terkuak di persidangan, lahan yang terbakar masih di dalam perkarangan rumah Rustam.
Jaksa juga menampilkan foto tanah yang terbakar terdapat pohon kelapa, pinang dan lainnya dan menyebutkan seorang buruh bangunan tidak dilarang untuk berkebun.
“Argumen Jaksa dalam repliknya bertolak belakang dengan keterangan para saksi yang menerangkan di persidangan bahwa di lahan tersebut memang sudah ada pohon-pohon itu sebelum Rustam membelinya,” tutur Noval.
Perbedaan perlakuan dalam penegekan hukum terhadap korporasi dan masyarakat kecil menunjukkan disparitas hukum yang sangat mencolok. Keseriusan pemerintah tidak nyata dalam prakteknya, sehingga upaya pemerintah dalam penerapan hukum multi door masih menuai kritikan dan terkesan masih tebang pilih.
“Jangan sampai UU yang dibentuk dengan maksud dan niat yang sangat baik dipergunakan untuk memenjara masyarakat yang tidak tepat, sehingga marwah UU yang dibentuk berbeda makna dan tujuan,” lanjutnya.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Stabat dengan perkara nomor 105/Pid.B/LH/2017/PN Stbmenyatakan menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin budi daya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan, kegiatan dari Terdakwa tidak memiliki pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan tidak tepat dikategorikan kepada diri terdakwa karena dari fakta persidangan tidak didapatkan niatan melakukan usaha perkebunan.
“Maka kategori Pekebun tidak cocok disematkan pada diri Terdakwa,” jelas Noval.
Dalam Putusan No 105/Pid.B/LH/2017/PN Stb majelis hakim juga berpendapat bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi rumusan delik kegiatan perkebunan.
Karena tidak memiliki pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.
Tim Penasihat Hukum menjelaskan, baik dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Penasihat Hukum Rustam meminta majelis hakim yang memeriksa Perkara Terdakwa Rustam Bin Kartawirya untuk dibebaskandari segala tuntutan hukum.
Persidangan akan dilanjutkan pada Selasa, 21 Juli 2020 dengan agenda pembacaan Putusan.
“Semoga Majelis Hakim dapat memberikan keadilan bagi Pak Rustam dan keluarganya serta masyarakat yang miskin dan buta hukum,” tutup Noval.(JR)