Pemerintah diminta proaktif menyelesaikan persoalan yang mendera nelayan Indonesia. Tidak cukup hanya mengeluarkan berbagai kebijakan yang baru bisa menimbulkan ketegangan dan juga persoalan baru, pemerintah dituntut menyediakan bantuan permodalan dan ketersediaan awal sejumlah kebutuhan pokok bagi nelayan Indonesia.
Hal itu disampaikan Koordinator Bidang Energi dan Sarana Prasarana Perikanan DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Siswaryudi Heru dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (30 Januari 2017).
Menurut Siswaryudi, salah satu persoalan utama yang tak kunjung diselesaikan oleh pemerintah adalah perihal pendataan jumlah nelayan Indonesia secara konkrit, pendataan berbagai persoalan di desa-desa nelayan, permodalan, kondisi sosial dan ekonomi nelayan dan lain sebagainya.
Seharusnya, menurut dia, dengan melakukan sensus nelayan Indonesia secara nasional, pemerintah bisa mengetahui berbagai persoalan ril nelayan Indonesia, sekaligus bisa mencarikan solusi atas persoalan itu.
“Sesungguhnya, harus dimulai terlebih dahulu dari adanya upaya sensus nelayan Indonesia secara nasional. Nelayan dan pemerintah kita sama-sama butuh sensus itu. Dari pelaksanaan sensus nasional nelayan itulah nantinya akan ketahuan secara ril apa saja persoalan dan pemetaan sekaligus solusi yang akan dilakukan,” tutur Siswaryudi Heru.
Meski ada sejumlah organisasi nelayan, menurut Siswaryudi, tidak menunjukkan bahwa pendataan dan berbagai persoalan ril nelayan itu sama persoalannya. Misalnya, lanjut dia, nelayan Indonesia di Pantai Timur Sumatera tentu memiliki persoalan yang lebih spesifik dengan persoalan nelayan di wilayah Jawa, demikian pula dengan nelayan di wilayah Indonesia Timur.
Selain itu, dengan Sesnsus Nelayan Indonesia secara nasional, akan terpetakan dengan jelas apa saja kebutuhan dan kondisi nelayan. Seperti, informasi yang menyebut bahwa kini kian banyak nelayan Indonesia yang meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan dikarenakan sudah tidak memberikan jaminan hidup sehari-hari, perlu juga menjadi perhatian pemerintah secara serius. Banyaknya nelayan yang menganggur dan malah beralih profesi menjadi buruh atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, adalah indikasi nyata bahwa persoalan nelayan kian menggunung.
“Tetapi itu semua tidak bisa kita selesaikan hanya dengan berlandaskan asumsi-asumsi semata. Jika hanya asumsi-asumsi saja yang dikedepankan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itulah sensus nelayan secara nasional sangat perlu dan itu pasti bisa dilakukan oleh pemerintah. Kelompok-kelompok nelayan pasti siap membantu dan mendukung sensus itu,” tuturnya.
Nah, secara garis besar, lanjut Siswaryudi, seperti yang dilakukan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dalam sejumlah pertemuan dengan nelayannya, sangat terasa permintaan nelayan yang butuh bantuan permodalan.
Jika dirinci, lanjut dia, beberapa kebutuhan mendesak yang terangkum adalah kebutuhan listrik gratis bagi nelayan Indonesia sangat mendesak. “Listrik itu akan dipergunakan buat cold storage,” ujar Siswaryudi.
Untuk membantu permodalan awal, lanjut dia, sebuah unit perbankan yang konsisten membantu nelayan berupa Bank Nelayan sangat dibutuhkan. Bank Nelayan ini, menurut Siswaryudi, akan menjadi bank yang menjadi pusat dari hampir semua aktivitas nelayan, mulai dari bantuan permodalan, menyimpan hasil tangkapan atau menabung dan berbagai kebutuhan lainnya.
“Bank Nelayan buat menyediakan modal kerja melaut dengan syarat mudah dan bunga murah. Itu sangat penting,” ujarnya.
Peran pemerintah untuk mengontrol atau mengendalikan mutu dan harga ikan, lanjut Siswaryudi, sangat penting. Hal itu langsung berpengaruh bagi pendapatan dan kehidupan ekonomi nelayan Indonesia.
“Terutama dalam hal stabilisasi mutu dan harga ikan,” ucapnya.
Sedangkan program asuransi nelayan dengan premi yang murah, yang kini sedang mulai dijalankan oleh pemerintah, perlu dipikirkan bagaimana agar nelayan sanggup membayar perminya.
“Sebab, asuransi itu ternyata bukan asuransi gratis bagi nelayan. Mereka tetap menjadi peserta asuransi dengan premi yang murah. Bukan gratis loh. Dan pertanggungannya itu ya harus yang wajar dong,” ujarnya.
Tidak bisa dipungkiri, lanjut dia, nelayan pasti tidak bisa lepas dari kehidupan laut. Sebab mata pencaharian dan kehidupan sehari-harinya adalah melaut dan menangkap ikan.
Untuk kebutuhan melaut, kata Siswaryudi, nelayan kini sangat kesulitan mengeluarkan cost membeli bahan bakar.
“Saya kira, program nelayan melaut dari memakai solar ke gas itu harus terus dikembangkan. Supaya biaya operasinal menjadi rendah sehingga keuntungan Nelayan meningkat. Pemakaian gas oleh nelayan juga menurunkan kadar pencemaran udara,” pungkas Siswaryudi Heru.
Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti mengaku lebih senang agar masyarakat Indonesia kian banyak berprofesi sebagai nelayan.
Bahkan, dia berharap, para lulusan satuan pendidikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat menjadi pelaku utama dalam usaha mandiri di sektor kelautan dan perikanan.
“Saya ingin SUPM (Sekolah Usaha Perikanan Menengah) kita tidak memproduksi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Apalagi di kapal-kapal ikan asing. Lebih senang jika mereka terjun punya kapal 11 meter,” jelas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam keterangannya di Jakarta (Jumat, 27/1).
Susi meminta Ditjen Perikanan Tangkap dapat menawarkan lulusan SUPM dan Politeknik untuk jadi nelayan. Yang tentunya diberi bantuan awal untuk pengembangan.
“Dia lebih baik mandiri jadi entrepreneur kecil, daripada jadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di kapal ikan asing,” ujarnya.
Menurut Susi, para lulusan SUPM akan dimasukkan ke Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) yang dibangun KKP di Morotai, dan di beberapa wilayah lain.
“Lulusan siapa yang mau jadi nelayan mandiri, kita kasih kapal. Kita jaring mereka jadi wirausaha dan pelaku utama,” ujarnya.
Dia memastikan bahwa banyak keuntungan lainnya bagi para lulusan jika memilih mengabdi sebagai nelayan. Salah satunya, untuk menjamin keselamatan profesi nelayan, KKP mengalokasikan anggaran khusus untuk asuransi.
“Asuransi langsung dapat sebagai nelayan. Dia jadi TKI belum tentu dapat asuransi. Jadi nelayan meninggal di laut dapat Rp 200 juta. Yang mau jadi nelayan mandiri berapa orang, suruh daftar. Itu ide yang saya pikir luar biasa. Mulai tahun depan kita programkan,” kata Susi.(JR)