Sejumlah calon kepala daerah yang akan bertarung di Pemilihan Kepala Daerah Serentak (Pilkada Serentak) 2018 ini dikenal memiliki rekam jejak yang sangat buruk di pertambangan. Selain itu, sektor ekologis dan sosial sarat persoalan, jika masih menerapkan politik ijon di masyarakat.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyampaikan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang diikuti 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten pada 27 Juni 2018 mendatang tidak berimplikasi pada penyelesaian krisis dan masalah rakyat.
“Pilkada ini hanya akan melanggengkan krisis sosial ekologis melalui penerbitan berbagai izin tambang dan perkebunan. JATAM mencatat, para kandidat yang berkontestasi di 17 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada ini, mayoritas para politisi lama yang sebagian besar memiliki rekam jejak buruk dalam sengkarut pertambangan,” tutur Merah Johansyah, dalam siaran pers bersama, di Jakarta, Rabu (14/03/2018).
Dia menyebut, di Jawa Tengah, misalnya, dua pasangan calon seperti Ganjar Pranowo dan Sudirman Said tidak memberikan harapan bagi keselamatan rakyat dan lingkungan, terutama perjuangan penolakan tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan bersama oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Corruption Watch (ICW), Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA) , Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu, Merah Johansyah mengatakan bahwa Ganjar Pranowo, selaku gubernur petahana, jelas-jelas menjadi salah satu aktor di balik konflik berkepanjangan antara Petani di kawasan Karst Kendeng dengan PT Semen Indonesia.
“Demikian juga dengan Sudirman Said yang yang diusung oleh Gerindra, partai politik yang mendukung keberadaan PT Semen Indonesia di Rembang. Prabowo Subianto, selaku Ketua Umum Gerindra, pada awal 2017 lalu bahkan pernah memerintahkan kepada kader Gerindra di Jawa Tengah untuk menjaga keberlangsungan PT Semen Indonesia di Rembang,” ujarnya.
Di Kalimantan Timur, lanjut dia, di mana para kandidat yang maju dalam Pilkada Serentak 2018 memiliki rekam jejak yang buruk terkait industri pertambangan. Syahrie Ja’ang, selama empat periode menjabat wakil walikota dan Walikota Samarinda telah menerbitkan 63 izin tambang yang mengapling 71 persen luas Samarinda hingga menyebabkan 17 anak meninggal; Isran Noor, mantan bupati Kutai Timur dengan banyak kasus kontroversi, mulai dari pencucian uang dalam kasus Nazaruddin hingga Korupsi divestasi saham KPC; Safaruddin, mantan Kapolda Kaltim 2015-2018, yang selama menjabat melakukan pembiaran pelanggaran hukum atas kasus illegal mining dan meninggalnya 28 anak-anak di lubang bekas tambang batubara Kalimantan Timur.
Pada akhirnya, kata Merah Johansyah, momen Pilkada serentak ini lebih dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan serta menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan pelaku bisnis yang berkepentingan untuk mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanggengkan bisnis mereka di daerah.
“Pertemuan kepentingan antara politisi dan pelaku bisnis inilah yang menjadi celah terjadinya praktik ijon politik,” ujarnya.
Peneliti ICW Donal Fariz menyampaikan, Ijon Politik merupakan kesepakatan antara pengusaha atau korporasi sebagai penyandang dana politik dengan para politisi (kandidat, parpol, timses) yang berkepentingan menghimpun dana politik secara cepat dan mudah. Bantuan dana politik inilah yang kemudian hari “dibayar” oleh para politisi pemenang Pilkada dengan memberikan jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan; jaminan politik dan keamanan; pelonggaran kebijakan; tender proyek; bahkan hingga pembiaran pelanggaran hukum.
Hal tersebut terbukti dengan semakin panjangnya daftar kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2010-2018 terdapat 242 kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Bahkan dalam rentang Januari-Februari 2018 saja, telah ada 8 kepala daerah yang ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan 5 di antaranya mencalonkan diri pada Pilkada 2018.
“Sayangnya, respon Menkopolhukam atas penindakan para kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi, menjadi sebuah kemunduran negara untuk memastikan pemerintahan yang bersih dari korupsi serta mencederai demokrasi rakyat. KPK harus tetap berani membuka calon kepala daerah yang bermasalah,” tuturnya.
Penindakan kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi, khususnya pada 2018 ini, menegaskan adanya hubungan sebab akibat dengan upaya pemenangan Pilkada 2018. Pasalnya, kasus yang melibatkan calon kepala daerah ini disebut-sebut untuk mendanai pilkada yang berbiaya tinggi.
“Luput dilihat bahwa pengeluaran tinggi dalam pilkada terletak pada pengeluaran illegal, yaitu mahar politik, jual beli suara, dan suap penyelenggara, serta biaya yang pada dasarnya tidak urgen, yaitu pendanaan saksi,” ujar Donal.
Tidak hanya calon kepala daerah dan partai politiknya, menurut dia, integritas penyelenggara Pemilu pun dipertanyakan. Operasi tangkap tangan yang diinisiasi Kepolisian RI, baru-baru ini menangkap Ketua Panwaslu Garut, Heri Hasan Basri, dan Komisioner KPU Garut, Ade Sudrajad. Keduanya diduga menerima suap dari salah satu pasangan calon kepala daerah.
Dalam catatan ICW, kasus ini bukanlah kasus pertama yang mencoreng integritas penyelenggara Pemilu. Sepanjang 2010-2017, terdapat sedikitnya 72 kasus yang melibatkan penyelenggara Pemilu.
“Padahal integritas penyelenggaraan Pemilu juga sangat bergantung pada integritas penyelenggaranya. Publik selama ini menaruh harap pada penyelenggara Pemilu di tengah lemahnya integritas dari peserta Pemilu itu sendiri, akibat adanya kasus mahar politik dan korupsi kepala daerah,” ujarnya.
Aktivis KIARA Tigor Hutapea menjelaskan, di sektor pesisir dan pulau-pulau kecil, KIARA mencatat ada tiga proyek yang berpotensi dijadikan Ijon Politik dalam pilkada serentak.
Pertama, proyek reklamasi yang berada di 37 wilayah pesisir. Kedua, Proyek Pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada di 21 wilayah pesisir, Ketiga proyek pembangunan pariwisata dengan basis investasi tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat pesisir.
Tigor mengatakan, sejak pilkada serentak tahun 2018 berlangsung, tidak ada para calon kepala daerah yang berani di dalam visi-misinya menolak proyek-proyek bermasalah.
“Padahal sudah terbukti proyek reklamasi, pertambangan dan pariwisata berbasis investasi membawa dampak buruk bagi masyarakat pesisir yang kehilangan akses melaut dan tergusur dari sumber-sumber kehidupanny, merusak ekosistem pesisir, meningkatkan kantong-kantong kemiskinan di wilayah pesisir, merusak sumber daya air di kawasan pantai yang direklamasi, meningkatkan abrasi dan banjir di wilayah pesisir,” ujarnya.
Kepala Divisi Hukum dan HAM KontraS Afir Nur Fikri mengatakan, momen politik elektoral yang hanya menjadi ajang perebutan jabatan dan menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan bisnis, pada akhirnya akan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak demokrasi itu sendiri.
Arif menyatakan, KontraS melihat bahwa pengekangan atas hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi sangat rawan terjadi di Pilkada Serentak 2018 ini. Hak dasar ini lah yang menjadi batu penjuru (corner stone) bagi hak-hak lainnya, baik hak sipil-politik maupun hak Ekosob.
“Hilangnya kebebasan berekspresi dan pembatasan informasi dalam konteks politik elektoral, menutup peluang bagi masyarakat untuk seacara demokratis memantau kekayaan daerah yang ada, yang berpotensi dijadikan ijon politik untuk membiayai Pilkada,” ujar Arif.
Hal lain yang menjadi perhatian KontraS adalah maraknya calon tunggal dan keterlibatan kandidat yang berasal dari anggota TNI/Polri aktif.
“Calon tunggal yang terdapat di tiga kabupaten dan delapan kota memperbesar potensi kecurangan berupa penyuapan, intimidasi, dan kekerasan,” ujarnya.
Sedangkan, daerah yang para kandidat kepala daerahnya berasal dari anggota Polri terdapat di 3 Provinsi dan 4 Kabupaten. Dan, kandidat yang berasal dari anggota TNI berada di 2 provinsi, 1 Kota, dan 3 Kabupaten.(JR)