Pemerintahan Jokowi dianggap tidak konsisten melaksanakan visi misi Nawacitanya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Persoalan impor garam di negeri yang lautnya sangat luas ini masih terjadi. Demikian juga impor daging sapi yang masih terus berlangsung.
Ekonom Senior Junaedy Ganie menyebut Jokowi bukanlah sosok yang konsisten dalam merealisasikan janjinya agar ketahanan pangan Indonesia terwujud.
Bahkan, Jokowi dianggap sebagai Presiden yang tidak bersikap tegas untuk mencapai visi misi yang telah dijual-jualnya semasa kampanye Pilpres lalu itu.
“Sedih melihat kebijakan pemerintahan ini yang untuk urusan garam saja masih tetap impor. Betapa malunya kita sebagai negara maritim yang memiliki lautan yang begitu luas dan sangat banyak sumber garam, kok pemerintah melalui Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengeluarkan kebijakan impor garam,” ujar Junaedy di kantornya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/02/2016).
Mantan CEO BNI Life ini mengatakan, janji pemerintahan Jokowi akan menghentikan impor kebutuhan pangan ternyata jauh panggang dari api. Selain tidak memiliki konsepsi yang nyata dalam mewujudkan ketahanan pangan, Jokowi dianggap telah lalai mewujudkan visi misi Nawacitanya.
“Ketahanan pangan itu kan jelas disebutkan dalam Nawacita Pak Jokowi. Impor garam kok masih terus berlangsung. Kalau saya jadi Jokowi, saya akan buat perencanaan dalam dua bulan mengumpulkan menteri dan segera membuat kebijakan yang mengedepankan ketahanan pangan, menghentikan impor. Sebab, garam itu ada di negeri kita yang luas ini,” urainya.
Junaedy mengatakan, selain terkesan tidak bersikap tegas, pemerintahan ini pun sepertinya gamang mewujudkan Nawacita. “Kurang berani dan kurang tegas. Setiap menteri ya harusnya diperintahkan untuk menghetikan impor. Demikian pula kebutuhan pangan lainnya, ada di sini di Indonesia kita. Juga soal daging sapi, kok masih mengimpor,” ujar dia.
Bagi Junaedy, masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki tanah yang luas untuk beternak sapi. Karena itulah, seharusnya Indonesia tidak perlu bermasalah dengan ketersediaan kebutuhan daging sapi di Negara ini.
“Coba kalau sapi diternakkan di Sumatera, misalnya, di sana banyak lahan, banyak rumput, tentu sapi akan berkembang biak lebih baik. Lah, ini sekarang, sapi kok di kembangkan di Nusa Tenggara sana. Tanahnya pun berbukit batu, tandus, sapi mau makan apa di sana,” beber dia.
Junaedy pun menyarankan, agar kebutuhan daging sapi di Indonesia dikembangkan dan diurus secara khusus oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Apa sulitnya sih membuat BUMN yang fokus mengurusi dan mengembangbiakkan sapi itu. Toh, sampai saat ini masa masih saja mengandalkan impor daging sapi dari negeri orang,” katanya.
Bagi Junaedy, persoalan mewujudkan ketahanan pangan itu sendiri bisa segera dilaksanakan, bila ada rasa malu. “Mengapa kita tidak malu pada diri sendiri, masa garam dan daging sapi mesti mengimpor terus? Buat apa laut kita yang luas, buat apa lahan-lahan yang subur itu. Malu dong kita,” pungkasnya.
Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam telah dianggap tidak akan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia.
Peraturan yang diteken pada 29 Desember 2016 ini malah telah menghapus penyerapan garam lokal oleh importir. Petani garam pun mencak-mencak memprotesnya. Bagaimana Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menanggapinya? “Soal garam, saya tidak mau menanggapinya,” katanya di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 26 Januari lalu.
Adapun Kementerian Perindustrian menyatakan tak akan lepas tangan. Meski tak lagi berwenang mengeluarkan rekomendasi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Haris Munandar menyatakan Kementerian Perindustrian akan tetap mengawasi importasi garam yang dilakukan oleh industri.
“Potensi penyimpangan pasti ada. Karena itu, kami tetap mengawasi,” ujar Haris.
Kualitas yang baik dari garam impor untuk kebutuhan industri membuat potensi penyimpangan sebagai garam konsumsi. Jika itu terjadi, pasar garam konsumsi yang kini masih dikuasai produsen lokal pun terancam.
Berlakunya peraturan ini, menurut Haris, akan membuat Kementerian Perindustrian lebih teliti dalam melakukan pengawasan terhadap penggunaan garam impor untuk industri.
“Kami periksa betul laporan realisasi sampai penggunaan garamnya, apa betul sesuai dengan izin impor yang mereka terima,” ujarnya.
Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Impor Garam sebagai pengganti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2012 merupakan salah satu bentuk deregulasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada 2015. Terbitnya aturan ini diharapkan memudahkan industri makanan dan minuman hingga kertas serta tambang untuk memperoleh bahan baku.(JR-1)