Para buruh yang tergabung dari sejumlah Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) Sektor Ketenagalistrikan menyatakan menolak Omnibus Law.
Paling tidak, para buruh mengaku memiliki 8 alasan kuat untuk melakukan penolakan Omnibus Law tersebut.
Para buruh yang terdiri daeri Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) Ketenagalistrikan yang terdiri dari Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) Persero, PP Indonesia Power, Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE-FSPMI), dan Federasi Serbuk Indonesia, dan Public Services International secara tegas melakukan penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Jurubicara Serikat Buruh dan Serikat Pekerja Ketenagalistrikan, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP PLN) Persero Muhammad Abrar Ali, menyampaikan, pihaknya menilai penyusunan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja cacat prosedural. Karena dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil.
“Selain itu, RUU ini juga mendaurulang pasal-pasal inkonstitusional, menghidupkan kembali pasal-pasal kontroversial yang telah dikubur oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,”tutur Muhammad Abrar Ali, dalam keterangan pers yang diterima, Minggu (12/07/2020).
Dia menyebut, pada Kluster Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi Sub-Energi dan Sumber Daya Mineral khusus Perubahan UU No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan atau disebut dengan sub-kluster ketenagalistrikan, RUU ini mencoba menghidupkan kembali rencana unbundling, yaitu pengelolaan kelistrikan secara terpisah-pisah.
Dengan membagi menjadi empat bagian, yakni Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Penjualan. Yang pada pokoknya swasta atau badan hukum privat dapat terlibat luas dalam mengelola ketenagalistrikan di Indonesia. Sehingga privatisasi sektor ketenagalistrikan akan terbuka lebar dan terjadi komersialisasi sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dia melanjutkan, Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) Sektor Kelistrikan mengatakan, setidaknya ada 8 alasan mengapa Omnibus Law harus ditolak.
Pertama, Omnibus Law RUU Cipta Kerja Sub-kluster Ketenagalistrikan adalah produk Inkonstitusional.
Melihat penafsiran dari pasal 10 ayat 2 dan pasal 11 ayat 1 UU 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan yang sudah jelas dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada putusan MK no. 111/PUU-XIII/2015.
Kedua, penggabungan definisi ijin operasi dan usaha penyedia tenaga listrik yang tujuannya menyelingkuhi Keputusan MK No. 111/PUU-XIII/2015.
Ketiga, Pengaburan definisi Wilayah Usaha yang tujuannya menyelingkuhi Keputusan MK No. 111/PUU-XIII/2015.
Keempat, Omnibus Law RUU Cipta Kerja menghilangkan konsultasi DPR dalam menentukan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Kelima, Omnibus Law Cipta Kerja mengebiri hak DPR dalam melakukan penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen.
Keenam, Omnibus Law cipta Kerja Sub Kluster Ketenagalistrikan menghilangkan kewenangan Pemerintah Daerah yang mengingkari semangat reformasi.
Ketujuh, Omnibus Law RUU Cipta Kerja Sub Kluster Ketenagalistrikan menyebabkan banyaknya pengaturan ketenagalistrikan yang dibahas oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR.
Kedelapan, Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja menghilangkan hak legislatif DPR sebagai representasi rakyat.(JR)