Sepuluh hari lagi Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan membacakan putusan atas gugatan izin reklamasi Pulau G.
Nur Saepudin, salah seorang nelayan yang turut menggugat di pengadilan, menyampaikan, bahwa dia yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional di Muara Angke adalah salah satu Penggugat dalam perkara No. 193/G/LH/2015/PTUN-JKT, meminta dukungan agar diberikan keadilan bagi Nelayan.
“Bersama dengan nelayan tradisional lainnya dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya, saya menggugat SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 yang memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra,” ujar Nur Saefudin dalam pesannya yang diterima redaksi, Jumat (20/05/2016).
Dia mengatakan, putusan PTUN Jakarta itu pun akan menjadi penentu apakah reklamasi Pulau G yang akan merampas sumber kehidupan Nelayan bisa dihentikan atau tidak.
“Bencana ekologis yang merupakan malapetaka dan bahaya bagi warga Jakarta lainnya akan bisa dicegah kalau proyek reklamasi ini berhenti. Jakarta Tolak Reklamasi,” ujarnya.
Ketua Umum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik memaparkan ada 10 alasan bagi Nelayan Tradisional sehingga menolak reklamasi Pulau G, yakni: Pertama, nelayan tradisional Muara Angke susah melaut, jarak yang dilewati supaya dapat ikan makin jauh. Kebutuhan operasional naik, padahal ikan makin jarang karena laut tercemar. Akibatnya nelayan tradisional makin miskin dan tergusur.
Kedua, nelayan tradisional tidak pernah dimintakan pendapat. Apalagi kelompok perempuan. Padahal reklamasi akan berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Ketiga, reklamasi cuma untuk bisnis properti. Nelayan diarahkan untuk jadi “pelayan” kelompok berpunya.
“Reklamasi untuk siapa? Bukan untuk rakyat, apalagi nelayan,” ujar Riza.
Keempat, banjir di Jakarta bakal makin parah. Karena reklamasi menghambat aliran air dari hulu ke hilir. Kelima, reklamasi juga merusak ekosistem bakau. Padahal bakau selama ini menjadi pertahanan alami dari abrasi dan intrusi air laut.
Keenam, reklamasi mengancam PLTU dan PLTGU Muara Karang yang merupakan pemasok listrik 16 persen listrik di Jakarta, khususnya Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Ketujuh, dampak juga terjadi di tempat sumber pasir urugan. Diduga sudah 5 pulau hilang dari gugusan pulau di Kepulauan Seribu.
“Penambangan pasir di Lontar juga telah menimbulkan konflik diantara saudara kami nelayan Lontar,” ujarnya.
Kedelapan, reklamasi menyebabkan hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dipasrahkan pada pengusaha properti. Melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kesembilan, reklamasi mengurangi wilayah kelola nelayan tradisional dan memperparah pencemaran. Sehingga kami kehilangan sumber kehidupan. Melanggar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan bagi semua warga negara.
Kesepuluh, reklamasi akan menggusur pemukiman nelayan atas nama penertiban. Hanya untuk pembangunan bagi segelintir kelas ekonomi atas. Melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin Hak untuk Bertempat Tinggal dan Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat bagi semua warga negara
“Reklamasi Pulau G yang sudah berwujud, hanya 1 dari 17 pulau yang akan terbangun secara keseluruhan. Sekaligus sebagai bagian dari Proyek Garuda. Ini adalah ancaman malapetaka dan bahaya bagi kita semua, warga Jakarta. Untuk itu kita perlu memperkuat gerakan. Jakarta Tolak Reklamasi,” ujar Riza Damanik.
Dia menegaskan, pihaknya dan para nelayan di Teluk Jakarta, seluruh aktivitas reklamasi di Teluk Jakarta harus dihentikan secara total.
“Bagi kami, wilayah pesisir dan perairan di Teluk Jakarta adalah hidup kami, dan hidup generasi kami. Bagi kita, Teluk Jakarta adalah ekosistem dan ruang publik yang tidak bisa diprivatisasi untuk keuntungan bisnis semata. Bagi kita, nelayan tradisional adalah pahlawan protein bangsa yang harus dilindungi dan diberdayakan. Teluk Jakarta dan Nelayan Tradisional Jakarta tidak boleh tingga sejarah,” paparnya.
Nur Saepudin berharap agar Majelis Hakim mendengarkan tuntutan mereka dan membacakan putusan Pencabutan SK Reklamasi Pulau G.
“Ya, kami ingin SK itu dibatalkan demi hukum, kami ingin hidup tenang, tenteram dan nyaman di pesisir utara Jakarta. Kami tidak mau digusur dari tempat kami tinggal. Kami sangat berharap bisa mendapatkan keadilan dan perlindungan melalui putusan Majelis Hakim,” ujar Nur Saepudin.
“Saya, Nur Saepudin, mengajak untuk berjuang bersama. Mari dukung Petisi ini yang akan saya serahkan langsung ke PTUN Jakarta. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kawan yang bergabung. Kita ada dan berlipat ganda,” pungkasnya.(JR-1)