Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut pelaku lain dalam kasus suap di proyek reklamasi teluk Jakarta. KNTI menduga, masih ada pihak lain yang terlibat, baik dari unsur pemerintah, DPRD maupun swasta.
“Kami menduga ada keterlibatan anggota lain yang mungkin bisa ditelaah lebih dalam. Kami juga minta KPK periksa swasta lain yang terlibat,” kata Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu (2/4/2016).
Tidak hanya pengembang reklamasi, KNTI juga meminta KPK mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan untuk reklamasi, seperti penyediaan pasir pantai.
“Penambangan pasir untuk reklamasi kami duga sarat manipulatif,” ujar Riza Damanik.
Pengacara publik dari LBH Jakarta Muhammad Isnur mengatakan, KPK juga harus menelisik perusahaan lain yang terlibat dalam proyek reklamasi. Sebab, ada belasan perusahaan yang juga ikut mengembangkan reklamasi.
“KPK harus menyasar teliti dan kejar perusahaan lain. Apakah praktik ini menyasar perusahaan lain atau tidak,” ujar Isnur.
Sebagaimana diberitakan, pada Kamis (31/3/2016), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi yang kedapatan menerima suap 1,14 miliar rupiah dari PT Agung Podomoro Land Tbk, salah satu pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi.
Pada konferensi pers Jumat (1/4/2016) petang, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan uang yang diberikan kepada Sanusi merupakan suap dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.
Raperda ZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta memiliki keterkaitan dengan proyek reklamasi pembuatan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta. Pada saat pemutusan Raperda tersebut sebagian anggota DPRD DKI sempat menyatakan penolakan.
Yang terbaru adalah pembatalan pengesahan Raperda ZWP3K pada Kamis (17/3/2016). Penyebabnya karena tidak kuorumnya jumlah anggota DPRD DKI yang hadir. Saat itu, jumlah anggota DPRD DKI yang hadir dalam rapat paripurna hanya 50 orang. Padahal, jumlah keseluruhan anggota DPRD (termasuk para pimpinan) ada 106 orang.
Salah seorang anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dari Fraksi Golkar Ramli mengatakan, batalnya pengesahan Raperda ZWP3K disebabkan adanya perubahan pada salah satu pasal yang ada pada draf Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.
“Perubahan terjadi pada pasal yang mengatur mengenai kewajiban pengembang di lahan pulau reklamasi. Jika pada draft sebelumnya dinyatakan bahwa pengembang wajib menyerahkan minimal 15 persen lahan pulau buatannnya untuk fasos fasum, pada draft terbaru kewajiban pengembang hanya 5 persen,” ujarnya.
Dari sejak pembatalan pengesahan Raperda ZWP3K hingga tertangkapnya Sanusi, sampai saat ini belum diketahui pasti siapa yang mengubah pasal tersebut.(Richard)