Sampah Plastik Kini Jadi Pembunuh Yang Mengerikan

Sampah Plastik Kini Jadi Pembunuh Yang Mengerikan

- in DAERAH, NASIONAL, POLITIK
596
0
Rosiful Amirudin-Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), “ Sampah Plastik Kini Jadi Pembunuh Yang Mengerikan, Langkah Politik Yang Massif Perlu Segera Dilakukan.”

Terbunuhnya ikan paus yang diketahui  di dalam perutnya terdapat sampah plastik seberat 5,9 kilogram, di Perairan Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menjadi bukti bahwa sampah plastik yang dibuang ke laut sudah sangat merusak lingkungan, membunuh mahkluk hidup dan mengancam masa depan manusia.

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Rosiful Amirudin menyatakan, kini sampah plastik telah hadir sebagai pembunuh yang mengerikan.

Rosiful menegaskan,  isu pelestarian lingkungan hidup harus menjadi salah satu fokus misi politik di Indonesia. Sehingga pemanfaatan dan perlindungan lingkungan hidup secara nyata manfaatnya untuk kemanusiaan.

Masuknya kekuatan politik dalam isu pelestarian lingkungan hidup, belum dilihat dan belum digaungkan secara maskimal oleh politikus Indonesia. Padahal, isu lingkungan hidup harus dikawal sedemikian ketat untuk menunjukan kelas politik Indonesia adalah memang untuk kemanusiaan.

“Apabila sampah plastik sudah tidak menjadi komoditas politik, maka mau dengan apa kita bisa menekan penggunaan plastik yang nyatanya akan membunuh kita perlahan?” ujar Rosiful Amirudin, Kamis (22/11/2018).

Dia menegaskan, misalnya, sampah plastik yang terbuang ke laut, pastinya akan berdampak buruk pada ekosistem kelautan, dan sangat berpengaruh pada sektor pangan laut.

“Padahal, sektor pangan laut Indonesia harus dijaga ekosistemmnya untuk menghadapi perang yang lebih fundamental ke depannya,” tutur Rosiful Amirudin.

Jika politik tidak bisa mengakomodir permasalahan yang berdampak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup, lanjut dia, maka urusan penanganan sampah plastik hanya akan dianggap remeh temeh saja.

“Bagaimana kita menghadapi gempuran sampah plastik. Kita berperang dengan sampah plastik saja masih keteteran, bagaimana kita akan bersiap perang pada sektor pangan kita? Sudah terbiasakah membawa goodie bag sendiri dalam tas untuk mengurangi penggunaan sampah?” tantangnya.

Dia menegaskan, setiap orang, terutama politisi dan para pengambil kebijakan, harus menyadari dan harus beniat mengurangi sampah plastik, agar kejadian matinya paus sperma seperti yang terjadi di Wakatobi itu, tidak terulang lagi.

“Membunuh makhluk hidup menggunakan sampah plastik sangat dimungkinkan sekali, jika plastik terus menerus diberikan kebebasan berkembang biak tanpa pembatasan,” ujarnya.

Rosiful menuturkan, untuk pemakaian sedotan plastik di Indonesia diperkirakan mencapai 93,2 juta sedotan per hari. Itu setara dengan hampir seperlima dari total penggunaan sedotan di seluruh dunia.

Bukan tidak mungkin dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, Negara Indonesia bahkan dunia, akan dihimpit oleh berjuta ton sampah plastik yang sukar diolah.

Berbagai cara pengolahan sampah di berbagai negara digalakkan untuk membatasi pertumbuhan sampah plastik, yang nantinya mejadi sebuah bom waktu yang sangat mematikan untuk seluruh makhluk hidup.

Dilacak dari sejarahnya, permasalahan pencemaran sampah plastik dipublikasikan pada tahun 1970-an atau sekitar 40 tahun sebelum muncul hasil riset yang berjudul “plastic waste inputs from land into the ocean”  yang diterbitkan di Jurnal Science (2015).

Berdasarkan tulisan itu, disebutkan bahwa terdapat dua penyebab utama 80% sampah plastik terbuang  ke lautan, yakni, pertama, pertumbuhan penduduk bumi yang terus membesar  dan kedua, pengelolaan sampah yang belum mumpuni.

Mengapa lautan? Karena sebagian orang masih menganggap lautan lepas merupakan tempat sampah yang paling luas dan sangat memungkinkan sebagai tempat pembuangan sampah paling aman.

“Sampah yang mengalir deras di anak-anak sungai nyatanya akan menuju lautan. Baik sampah plastik maupun sampah hasil limbah industri rumahan dan perusahaan,” uajr Rosiful.

Praktik-praktik pembuangan limbah industri melalui sungai kerap terjadi. Hal itu dilakukan untuk mengakali kompensasi pengelolaan limbah.

“Jadi Indonesia bukan saja akan terhimpit oleh sampah plastik, namun pencemaran akibat limbah industri yang tidak terkontrol yang akhirnya terbuang ke lautan,” ujarnya.

Persoalan sampah plastik harus menjadi persoalan bersama, karena menurut The Ocean Cleanup (2017) diperkirakan sebanyak 1,15-2,41 juta ton platik dibuang ke sungai mengunakan 48.000-100.000 truk sampah.

Indonesia memiliki 4 sungai besar yang menjadi tempat pembuangan sampah plastik yakni Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, Sungai Kali Serayu, dan Sungai Kali Progo.

“Sebagian juga memasukkan Sungai Citarum yang mendapatkan predikat sebagai sungai terkotor di dunia. Dan itu terdapat di Indonesia,” ungkapnya.

Dengan tegas dia mengingatkan, pembuangan sampah ke lautan bukan saja berdampak buruk pada ekositem laut, namun masyarakat pulau-pulau kecil yang sangat bergantung pada sektor laut di sekitar pulau juga akan mengalami dampaknya.

“Jadi, bukan saja merugikan makhluk hidup laut, seperti paus sperma yang terdampar dan mati di Wakatobi kemarin, namun manusia-manusia yang memang tinggal dan hidup di pulau-pulau kecil pun sangat dirugikan oleh sampah plastik itu,” ujarnya.

Memang, matinya ikan paus sper ma yang terdampar di Wakatobi itu, menjadi tamparan keras bagi Indonesia.

Kejadian itu juga menampar berbagai program yang berbasis lingkungan, bahwa di dalam perut hewan primata tersebut ditemukan sekitar 5,9 kilogram sampah plastik dengan berbagai macam varietas.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, serta sadar dan tidak sadar, penggunaan plastik yang berlebihan akan membunuh makhluk lain, yang tidak pernah terpikirkan oleh kita semuanya. Menjadi pembunuh makhluk hidup lain secara tidak langsung sangat dimungkinkan, termasuk bagi saya sendiri,” imbuhnya.

Kebijakan pengelolaan sampah sudah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tanga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Kemudian, ada juga Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah.

“Dan sekarang ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menggodok dua Peraturan Menteri untuk megurangi sampah plastik di Indonesia,” ujar Rosiful.

Tragedi terbunuhnya paus sperma yang diduga karena mengkonsumsi plastik, memunculkan petisi penerapan cukai bagi plastik. Hal ini berguna untuk menekan penggunaan plastik di lingkungan sekitar.

“Apalagi berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tiap menit terdapat lebih dari sejuta kantong plastik yang digunakan, yang separuhnya digunakan hanya sekali pakai,” bebernya.

Sebagai informasi, lanjut Rosiful, untuk produksi pastik tiap tahunnya menghabiskan 12 juta barel serta 14 juta pohon. Sejak awal, memang produksi plastik harus mengeksploitasi sumberdaya alam yang tidak terduga nilainya, ditambah dengan dampak yang ditimbulkan Indonesia sampai hari ini belum bisa menekan.

Pembatasan penggunaan sampah harus berangkat dari berbagai pihak, dari masyarakat, pemerintah dan legislatif. Peran legislatif ini sangat penting untuk bisa diarahkan ke hal-hal yang sangat bersinggungan dengan kehidupan masyarakat dan memiliki dampak yang positif ke depannya.

“Pengawasan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah sendiri maupun kebijakan produk legislatif hanya sampai pada meja kerja. Bahkan belum sampai meja kerja. Isu dampak negatif sampah plastik seharusnya menjadi persoalan penting dalam kerja-kerja anggota legistalif kita, baik di pusat maupun di daerah,” jelasnya.

Dia bertanya, mau sampai kapan keputusan politik Indonesia hanya terus mengawasi satu persoalan yang tidak kunjung selesai? Tapi nyatanya memang, Rosiful menyadari bahwa keputusan politik Indonesia belum sampai pada taraf memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan hidup.

Menurut dia, kebijakan kepala daerah untuk menekan penggunaan plastik seharusnya didukung oleh berbagai pihak. Ini pun seharusnya menjadi cambuk bagi kepala daerah lainnya dalam urusan sampah di wilayah kekuasannya masing-masing.

“Jangan hanya mengerjakan urusan remeh temeh yang tidak memiliki implikasi dominan,” katanya.

Sebagai contoh, dia menyampaikan lagi, beberapa waktu yang lalu Walikota Surabaya Tri Rismaharini memberlakukan aturan membayar ongkos naik Bus Suroboyo dengan menggunakan botol plastik atau sampah, sebagai tiket.

“Pelibatan aktif masyarakat juga menjadi sangat penting untuk memaksimalkan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, kegiatan-kegiatan pengolahan sampah di masyarakat harus terus digalakkan.

“Pengolahan sampah berbasis masyarakat harus terus didukung. Karena sebenarnya, merekalah penggerak paling mendasar dalam mewujudkan perubahan positif,” tutup Rosiful.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Terungkap Kembali Praktik Mafia Paspor Penyebab TPPO, Imigrasi Bogor Kok Gak Kapok !

Satu per satu dugaan praktik mafia pembuatan paspor