Pengesahan revisi UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) mendapat kecaman dari kalangan aktivis. Alasannya, DPR seolah anti terhadap kritik sebagaimana isi Pasal 122 huruf (k) yang memberikan mandat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk dapat mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Totok Yuliyanto, menuturkan pemidanaan atas penghinaan terhadap DPR dan anggota DPR di revisi UU MD3 akan menimbulkan kontroversi. “Selain multitafsir tanpa indikator yang jelas, juga akan terjadi overkriminalisasi terhadap masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, pers/jurnalis, pengamat hukum danatau politik, bahkan sampai peneliti,” katanya dalam siaran persnya, Sabtu (16/02/2018).
Totok menerangkan, setelah revisi itu disahkan masyarakat tidak bisa menyatakan ekspresi dan/atau pendapatnya serta bertukar informasi faktual terkait dengan semua itu, karena berpotensi untuk dianggap sebagai suatu penghinaan yang dapat dipidana. Menurutnya, demokrasi akan mengalami stagnansi ketika masyarakat dibayang-bayangi ketakutan dalam memberikan kritik terhadap anggota DPR yang mereka pilih.
Pihaknya mencatat, sepanjang 2017 saja, kehadiran anggota DPR selama masa sidang Paripurna hanya 41,43 persen, dan hanya 5 RUU dari 50 RUU yang berhasil disahkan. Padahal anggaran DPR sendiri mengalami kenaikan signifikan dari sekitar Rp3,7 triliun pada 2016 menjadi Rp4,8 triliun pada 2017.
“Terjadi sesat pikir dalam rangka ‘menjaga kehormatan’ DPR/anggota DPR, maka seharusnya DPR menjalankan tugas dan tanggung jawab sebaik-baiknya, dan membuka ruang yang luas bagi publik untuk mengawasi, mengevaluasi dan memberikan masukan termasuk kritik sekalipun,” ujar Totok.
Pihaknya menilai, telah terjadi pengkhianatan terhadap mandat reformasi. Sebab, salah satu masalah fundamental dari rezim Orde Baru, adalah ‘pembungkaman publik’, yang merupakan warisan dari penjajah. Maka dari itu, pasca-reformasi, seluruh ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. “DPR seharusnya berwatak ‘wakil rakyat’, bukan justru ‘raja dari rakyat,” tandasnya.
Koordinator divisi korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, mengatakan ancaman sanksi pidana bagipengkritik DPR adalah bentuk kemunduran luar biasa dalam membangun negara yang demokratis. “Ketentuan ini menunjukkan anggota DPR dan elit politik hanya siap berdemokrasi terbatas pada perebutan kekuasaan saja,” kritiknya.
Untuk menuju demokrasi yang lebih substansial, maka kontrol, pengawasan, dan kritik masyarakat sebagai pemegang kedaulatan harus diberikan ruang. Selama ini kritik publik kepada DPR merupakan akibat dari buruknya kinerja dan perilaku anggota DPR. “Bagaimana mungkin DPR yang harusnya dikontrol oleh masyarakat sebagai pemilik kedaulatansesungguhnya, justru ingin memberikan sanksi pidana kepada kepada masyarakat yang hendak menagih janji-janji politik mereka?” imbuh Donal.
Pihaknya mendesak, apabila DPR tidak mau melakukan revisi terhadap UU MD3 baru ini, maka Presiden Jokowi perlu segera menerbitkan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai revisi UU MD3 agar prinsip demokrasi dan negara hukum di Indonesia bisa ditegakkan.
Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Raden Deden Fajarullah, menyebutkan saat ini pihak penguasa dan elit poltik terus menutupi kebobrokannya dengan cara membungkam rakyat yang berani melawan. Hal ini dapat dilihat bagaimana semakin masifnya intimidasi, represifitas, sampai pada kriminalisasi kepada rakyat.
“Begitu juga upaya dalam membungkam kritik dari rakyat pemerintahan telah mengeluarkan Revisi KUHP dan disahkannya revisi UU MD3 yang berisikan pemidanaan bagi seseorang dalam melakukan kritik terhadap DPR,” katanya. Dia menegaskan, seharusnya demokrasi dijadikan langkah awal dalam melepaskan keterbelakangan, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat Indonesia atas belenggu imperialisme dan feodalisme.
“Apa artinya demokrasi jika terus melanggengkan kepentingan imperialisme dan feodalisme di Indonesia,” imbuhnya. LMND, lanjut Deden, mendesak pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan R KUHP dan UU MD3 yang dinilai membatasi ruang demokrasi bagi rakyat Indonesia. (JR)