Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merasa bingung dengan respon masyarakat yang seolah-olah mengharamkan proses politik lewat fungsi legislasi dalam upaya revisi Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang belum dilakukan pembahasan di Senayan.
Selain sudah adanya upaya membangun citra buruk terhadap DPR dalam urusan ini, sebagian masyarakat dianggap telah dibelokkan cara berpikirnya terhadap revisi Undang Undang Pilkada itu.
Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman menyampaikan, upaya revisi itu adalah inisiatif pemerintah Jokowi, bukan dari DPR.
“Ini pada faham mekanisme enggak sih? Belum ada pun pembahasan revisi undang undang Pilkada ini. Jangan malah upaya revisi ini dianggap kerjaan dan bisa-bisanya DPR loh. Ini kok masyarakat kita dibuat bingung dan berwacana tidak sehat. Ingat, inisiasi atau upaya melakukan revisi undang undang Pilkada ini adalah inisiatif pemerintah. Pemerintah akan menyerahkan draft-nya ke DPR untuk dibahas. Dan sampai sekarang belum masuk kok ke DPR. Janji pemerintah draftnya akan dikirimkan hari ini. Belum masuk. Ya mungkin Senin,” ungkap Rambe Kamarul Zaman saat berbincang di kantornya, Jumat (18/03/2016).
Lagi pula, diterangkan politisi senior Partai Golkar ini, fungsi legislasi yang dimiliki DPR ini pun bukan untuk jegal menjegal siapapun dalam Pilkada Serentak. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak pada akhir 2015 lalu, lanjut Rambe Kamarul Zaman, banyak hal yang harus diperbaharui dalam pelaksanaan Pilkada Serentak.
“Pada evaluasi Pilkada Serentak yang lalu, saya meminta BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) melakukan audit terhadap pelaksanaan Pilkada Serentak. Ya meskipun hasil auditnya masih ada yang perlu disinkronkan, yang pasti rekomendasi untuk memperbaiki pelaksanaan Pilkada Serentak itu kuat. Pilkada serentak ke depan harus terukur dan ternilai secara kuantitatif dan kualitatif yang pasti,” ujar dia.
Dari pemerintah sendiri, lanjut Rambe, sudah ada komunikasi dari Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri dan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM ke Komisi II DPR mengenai draf revisi Undang Undang Pilkada yang akan dibahas nantinya.
Bahkan, pemerintah pun meminta agar dalam revisi Undang Undang Pilkada ini, agar efektif dan efisien dan tidak tambal sulam.
“Harapan dari Presiden sendiri terhadap revisi Undang Undang Pilkada ini ya jangan tambal sulam. Terkait pendanaan, penyelesaian sengketa Pilkada, pencalonan, semua itu harus ada kepastian. Tentu juga revisi ini akan disinkronkan dengan keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), harus ada kepastian hukum, agar tidak multi interpretasi,” ujar Rambe.
Rambe menegaskan, kebutuhan revisi UU Pilkada ini bukanlah untuk kebutuhan satu dua daerah saja, namun untuk nasional di seluruh Indonesia.
“Jangan dikira untuk satu dua daerah saja. Ingat, pada Februari 2017 nanti masih ada sebanyak 101 Pilkada yang herus dilaksanakan secara serentak. Jadi, salah kaprah jika dibangun wacana bahwa revisi undang undang Pilkada ini untuk kepentingan tertentu,” ujar Rambe.
Dikarenakan draft revisi UU Pilkada belum diserahkan Pemerintah ke DPR, lanjut Rambe, maka kemungkinan pembahasan akan dimulai setelah masa reses DPR berakhir. “Jadi mekanismenya, ada surat resmi dari Presiden menyerahkan draft itu, dan itu dibuka dalam rapat paripurna dan disampaikan di paripurna. Selanjutnya, akan dibagikan ke masing-masing fraksi di DPR untuk dilakukan pembahasan-pembahasan. Kemudian akan dibawa ke Komisi II. Nah, dengan masa reses sekarang dan draft belum tiba dari pemerintah, kemungkinan pada 6 Maret nanti baru akan dimulaipembahasan, dan mudah-mudahan pada Mei 2016 revisi undang undang ini sudah ketuk palu,selesai,” pungkas Rambe.
Penolakan terhadap rencana revisi Undang Undang Pilkada muncul dengan adanya petisi. Petisi yang berisi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau yang dikenal sebagai UU Pilkada kini beredar di masyarakat.
Petisi itu ditujukan kepada Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Petisi yang dimulai oleh Caesar dan telah ditandatangani 18.073 pendukung hingga Kamis (17/3/2016) itu menyebutkan, dalam UU Pilkada, diatur syarat pengajuan calon independen dalam pilkada serentak.
Calon independen atau perorangan paling sedikit harus mengumpulkan 6,5 sampai 10 persen jumlah pemilih tetap agar dapat maju dalam pilkada setempat.
Namun disebutkan, munculnya wacana bahwa UU Pilkada harus direvisi. Alasannya syarat untuk calon independen dinilai jauh lebih mudah daripada syarat untuk partai politik parpol. Saat ini syarat dukungan untuk calon dari parpol naik 5 persen menjadi 20 persen dari jumlah suara. Oleh sebab itu, Komisi II DPR RI merasa syarat untuk calon independen juga harus diperberat agar berimbang.
Ada dua model yang diwacanakan. Pertama, syarat dukungan menjadi 10-15 persen dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) atau yang kedua 15-20 persen dari DPT. Menurut petisi ini, hal yang menarik adalah wacana ini timbul ketika proses pencalonan untuk maju ke Pillkada DKI Jakarta menghangat. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahan telah memilih jalur independen untuk mencalonkan diri kembali.
“Idealnya wacana revisi UU ini tidak hanya untuk kepentingan perangkap politik pilkada DKI DKI Jakarta, tapi lebih memikirkan kepentingan jangka panjang untuk kehidupan berdemokrasi di Indonesia.” tutur Caesar S dalam petisi itu.
Petisi ini, tegasnya, dibuat untuk menolak wacana revisi UU Pilkada terutama mengenai kenaikan syarat dukungan untuk calon independen, mengingat tidak adanya urgensi untuk merevisi UU Pilkada dalam waktu singkat. “Sangat diiharapkan Komisi II DPR RI dapat dengan sungguh-sungguh mendengarkan suara rakyat dan berpikir ulang mengenai wacana revisi ini,” demikian bunyi akhir petisi itu.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajukan 15 pasal dalam rancangan revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Adapun rancngan revisi tersebut saat ini telah diharmonisasi dan akan difinalisasi di tingkat Pemerintah, Kamis (18/2).
“Besok (Kamis) final di tingkat pemerintah di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD dan Hubungan Antarlembaga (FKDH), Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Ansel Tan di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (17/2).
Ke-15 pasal itu, yakni pasal 1, 11, 13, 41, 54, 71, 85, 153, 157, 162, 163, 165, 166, 200 dan pasal 201. Semua pasal tersebut sesuai dengan arahan Menteri Dalam Negeri, yakni sembilan prioritas hasil dari rapat dengan Komisi II DPR beberapa pekan lalu.
Ia mengatakan, Kemendagri juga menitikberatkan pada poin-poin yang merupakan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Lebih kesitu, kalau hasilnya seperti apa itu tergantung DPR nanti,” kata Ansel.(JR-1)