Revisi UU Desa Membela Desa atau Mempolitisasi Desa?

Revisi UU Desa Membela Desa atau Mempolitisasi Desa?

- in DAERAH, EKBIS, HUKUM, NASIONAL, POLITIK, PROFIL
413
0
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA)

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menyepakati draft revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menarik untuk dikritisi.

Kesepakatan dari Baleg DPR RI ini menyiratkan pesan politik, bahwa revisi UU Desa merupakan inisiatif DPR RI.

Respon cepat   Baleg DPR RI atas isu revisi UU Desa menjelang tahun politik 2024, sarat bernuansa politis. Desa memang harus dibela DPR RI dari jebakan birokratisme pelaksanaan UU Desa.

Gagasan  revisi UU Desa oleh DPR RI sangat konstitusional, namun politisasi dalam merevisi UU Desa justru berpotensi menghasilkan produk perubahan UU Desa yang tidak membela desa.

Situasi    politik dan potensi politisasi revisi UU Desa ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para pihak di Desa, lebih khusus lagi para Kepala Desa.

Untuk itu, kami dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menyerukan:

Dahulukan evaluasi total kinerja Pemerintah dalam melaksanakan mandat UU Desa, sebelum mengusulkan revisi UU Desa UU Desa sebenarnya telah mengakui dan menghormati kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan lokal berskala desa.

Pelaksanaan mandat UU Desa selama ini berpijak pada 2 Peraturan Pemerintah (PP No 43/2024, PP No 60/2014) dan banyak Peraturan Menteri (Permendesa, Permendagri, Permenkeu).

Regulasi teknis ini yang justru bermasalah, menafsir berlebihan pada mandat UU Desa, sehingga kewenangan desa teramputasi.

Alih-alih desa menjadi berdaulat, saat ini pun kemiskinan desa masih meninggi (BPS, 2022), dari 12,29 % (Maret 2022) menjadi 12,36 % (September 2022). Bahkan kemiskinan ekstrem pun masih banyak di desa-desa.

Menggugat basis argumentasi materi-materi muatan pokok yang diajukan untuk revisi UU Desa.

Argumentasi penguatan kepemimpinan kepala desa melalui penambahan masa jabatan kepala desa (dari 6 tahun menjadi 9 tahun), tidak berdasar pada pengetahuan yang jelas.

Alih- alih kepemimpinannya yang lama bisa memajukan desa, justru sebaliknya desa bisa beresiko dipimpin secara otoriter, melahirkan dinasti kekuasaan dan memunculkan kekuatan oligarki desa.

Gagasan memperpanjang masa jabatan kepala desa akhirnya malah memperlambat siklus demokrasi pemilihan desa.

Pun demokrasi deliberatif desa tidak pasti jaminannya terbangun dengan kepemimpinan kepala desa yang diperpanjang.

Memperkuat hak desa atas keuangan desa yang bersumber dari trasfer dana APBN dalam bentuk Dana Desa (DD) dan alokasi APBD dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD).

Bukan besaran DD dan ADD yang harus ditambah, tetapi kembalikan hak desa atas penggunaan DD dan ADD untuk membiayai kewenangan desa.

Gagasan memperbesar ADD (minimal 15 % dari DAU+DBH setelah dikurangi DAK) malah semakin mempersempit ruang fiskal APBD Kabupaten/Kota yang selama ini sudah sempit.

Niat mempertebal penghasilan tetap perangkat desa (Siltap), secara bersamaan justru mempersempit diskresi keuangan Pemda Kabupaten/Kota.

Saat ini yang diprioritaskan justru penguatan kapasitas perangkat desa, karena masih banyak SDM perangkat desa yang tidak memiliki kapasitas standar dalam pengelolaan keuangan desa, mulai dari; perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan.

Bahkan masih banyak praktik pengelolaan keuangan desa yang lemah dalam penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi, sehingga berdampak pada banyaknya penyelewengan dana desa bahkan tindak pidana korupsi.

Menghentikan reduksi mandat UU Desa dalam penggunaan Dana Desa (DD) dan mempermudah aplikasi sistem keuangan desa (Sikeudes).

Penting penggelolaan keuangan desa tidak diatur secara njelimet dan detail, sehingga desa bisa leluasa mengoptimalisasikan usulan masyarakat yang harus dibiayai oleh Dana Desa (DD).

Pada sisi lain, saat ini banyak sekali urusan yang diserahkan/ditugaskan ke Desa, tanpa disertai pendanaan, sehingga Desa tidak leluasa mengurus kepentingan masyarakat setempat.(*)

Narasumber:

  1. Sunaji Zamroni
  2. Yusuf Murtiono
  3. Badiul Hadi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Laskar Anti Korupsi Indonesia Kecam Ketidakadilan di Pemkab Karo: ASN Tak Terima Gaji Selama ± 24 Bulan

Jakarta– Di tengah kesulitan hidup yang semakin berat,