Setiap Gubernur tidak perlu bersurat ke Menteri Tenaga Kerja (Menaker) untuk meminta persetujuan dalam melakukan Revisi Upah Minimum Provinsi (UMP) Tahun 2022.
Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar menyikapi adanya surat yang dikirim Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan kepada Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, meminta semacam restu untuk melakukan revisi UMP DKI Jakarta Tahun 2022.
Timboel Siregar menjelaskan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkirim surat kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, yang isinya meminta agar Menaker dapat meninjau ulang formula penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2022.
Hal itu disampaikan melalui Surat nomor 533/-085.15 dengan perihal Usulan Peninjauan Kembali Formula Penetapan UMP yang diteken pada 22 November 2021 lalu.
“Menurut saya, surat Gubernur Anies ke Menaker adalah sebuah kekeliruan besar,” ujar Timboel Siregar, Senin (29/11/2021).
Kesalahan Gubernur dalam hal ini, menurut Timboel Siregar adalah, Pertama, rumus formula penetapan UMP 2022 ada di Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021, yang ditandatangani oleh Presiden, bukan oleh Menaker.
“Tidak ada kewenangan Menaker untuk mengubah rumus formula penetapan UMP. Seharusnya Pak Anies berkirim surat ke Presiden. Karena yang memiliki kewenangan untuk mengubah formula penetapan UMP adalah Presiden,” jelas Timboel.
Kedua, mengacu pada UU Cipta Kerja junto PP No 36 Tahun 2021, sebenarnya yang memiliki kewenangan menetapkan UMP adalah Gubernur.
Dan oleh karenanya, Gubernur Anies memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan UMP 2022 di DKI Jakarta.
Walaupun ada rumus formula penetapan UMP di PP No 36 Tahun 2021, tetapi Gubernur Anies punya kewenangan untuk menetapkan UMP DKI lebih tinggi dari ketentuan rumus formula yang ada di PP No 36 Tahun 2021.
“Sekarang masalahnya apakah Pak Anies berani atau tidak menetapkan UMP DKI di 2022 melebihi ketentuan formula di PP No 36 tersebut?” tanya Timboel.
Timboel Siregar yang juga Koordinator Advokasi BPJS Watch ini menyebut, Gubernur Anies Baswedan harusnya belajar dari keberanian Presiden Jokowi yang pernah menetapkan UMP DKI naik 43 persen.
“Demikian juga, Pak Anies harus belajar dari Pak Ahok yang berani menetapkan kenaikan UMP DKI sebesar 11 persen ketika PP No 78 tahun 2015 menetapkan kenaikan UMP berdasarkan penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi Nasional, yang saat itu nilainya sekitar 8 persen. Dan pada PP No 78 Tahun 2015 tersebut pun Upah minimum sudah ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional,” terang Timboel Siregar.
Karena itu, Timboel Siregar mendorong Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan untuk merevisi keputusannya tentang kenaikan UMP DKI di 2022. Yaitu dengan menetapkan kenaikan UMP 2022 lebih besar nilainya dari ketentuan rumus yang ada di PP No 36 Tahun 2021.
“Pak Anies harus berani bersikap membela kaum buruh. Dan Pak Anies jangan takut dengan Pasal 68 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bukankah Pak Anies akan selesai menjadi Gubernur tanggal 16 Oktober 2022? Dan ini artinya, kalau pun ada ancaman di Pasal 68 tersebut, tentunya prosesnya juga akan memakan waktu tidak cepat. Dan prosesnya mungkin akan relatif bersamaan dengan selesainya Pak Anies sebagai Gubernur DKI,” sebut Timboel.
Menurutnya, Penetapan UMP 2022 ini merupakan kesempatan terakhir Gubernur Anies untuk menetapkan UMP. Karena tahun depan Gubernur Anies akan selesai bertugas sebagai Gubernur, serta tidak bisa lagi menatapkan UMP DKI untuk tahun 2023.
“Semoga Pak Anies memahami kewenangan hukumnya dalam menetapkan UMP DKI. Dan Pak Anies memiliki keberanian seperti Pak Jokowi dan Pak Ahok dalam menetapkan UMP DKI,” tandas Timboel Siregar.(J-RO)