Presiden Jokowi diminta untuk tidak sekedar sibuk mengurusi rencana pergantian anggota kabinet atau reshuffle, namun Presiden juga harus memberikan sanksi bagi para menteri yang dianggap tidak menjalankan amat penderitaan rakyat sesuai dengan Nawacita.
Pergantian anggota kabinet, dianggap hanya untuk mendaur ulang sejumlah kepentingan partai politik tanpa memberikan kinerja yang nyata bagi pelayanan masyarakat Indonesia.
Koordinator Sentra Analisis, Kajian dan Terapan Indonesia (SAKTI) Richard Manahan Saragi menyampaikan, sebagai perpanjangan tangan Presiden dalam mengambil kebijakan dan melaksanakan kebijakan di setiap departemen, menteri tentunya harus dievaluasi oleh Presiden. Setiap menteri yang berprestasi wajar diberikan reward dan menteri yang tidak berprestasi mestinya diberikan sanksi.
“Kita melihat, wacana reshuffle kabinet itu hanyalah bancakan partai politik. Dan, parpol tidak puas jika tidak ada kader atau orang-orangnya yang duduk di kabinet. Presiden Jokowi, tolonglah dievaluasi, berikan sanksi kepada menteri yang tidak bekerja dengan semestinya, dan berikan reward kepada yang berprestasi. Ini berkaitan dengan kebijakan publik, di mana masyarakat langsung yang diurusi. Sedangkan di kantor tempat bekerja saja, ada karyawan yang tak becus bekerja langsung diberikan sanksi, masa di kabinet tidak?” papar Richard saat berbincang dengan redaksi, Jumat (22/04/2016).
Richard menambahkan, di tingkat kementerian sendiri ada evaluasi kinerja. Ada target dan sasaran yang ditentukan oleh Presiden Jokowi sewaktu mengangkat para menterinya. Ukuran itu, lanjut dia, adalah sarana melakukan evaluasi kinerja para pembantu Presiden.
Tentu tidaklah sulit untuk melakukan evaluasi kinerja para menteri. Dengan mengukur berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan masing-masing anggota kabinet yang dilakukan, juga dengan melihat persoalan yang ditimbulkan oleh kebijakan itu.
“Masa menteri tenang-tenang saja tanpa adanya sanksi kalau melakukan atau melaksanakan kebijakan yang tidak tepat? Ini kabinet apaan kalau tak ada evaluasinya. Bahkan, sebelumnya kan sudah ada hasil atau rapor para menteri yang dikeluarkan oleh Menpan RB yang ditugasi untuk melakukan evaluasi itu. Dikemanakan hasil evaluasinya? Apakah hanya ditaruh begitu saja lalu dibuang?” papar Richard.
Jika Presiden Jokowi hanya berpatokan secara politis untuk mengganti menteri, atau karena desakan partai politik atau pun kekuatan-kekuatan pemodal yang mendanainya sewaktu masa kampanye Pilpres lalu, lanjut Richard, maka tidak aka nada gunanya melakukan reshuffle kabinet.
“Jika itu yang terjadi ya sama saja Presiden dan para menteri itu mengabdi kepada para pemodal dan parpol. Pemerintah ini harus mengabdi kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Apa saja sih yang sudah dilakukan untuk bangsa dan negara ini selama menduduki kursi Presiden dan kursi menteri? Kan jelas ukurannya,” papar Richard.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti mempertanyakan arah dilakukannya perombakan kabinet oleh Jokowi. Menurut dia, urgensi pergantian kabinet harus terukur dan bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
“Apa gunanya Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet? Apa tujuannya? Apakah hanya untuk sekedar menukar nama di kabinet?” ujar Ray saat diskusi bertajuk Gaduh Partai Jelang Reshufle Jilid II: Mau Kemana?, di Jakarta, Minggu kemarin.
Ray memaparkan, pandangan yang berkembang di masyarakat, menunjukkan bahwa perombakan kabinet dilakukan karena pragmatism. “Presiden dianggap lamban melakukan konsolidasi bidang tertentu yang disebabkan faktor internal dari komposisi kabinet itu sendiri,” ujar Ray.
Selain itu, Ray melanjutkan, terkait wacana reshuffle, banyak corak di era pemerintahan Jokowi. Setidaknya ada tiga warna, yaitu mereka yang terlihat konsisten melakukan nawacita, mereka yang tidak peduli dengan Nawacita sehingga ini muncul bentrok ke permukaan dan ketiga adalah warna dari partai politik.
“Jadi sekarang pertanyaan reshuffle jilid 2 ini mau diapakan? Ya dikonsolidasi tiga corak tadi karena ada tiga kepentingan,,” pungkas dia.(JR-1)