Regulasi atau Undang-Undang harus terbuka bagi munculnya Calon Presiden Alternatif. Jaminan itu pun sudah ditetapkan di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yakni Undang Undang Dasar 1945.
Hal itu ditegaskan Pakar Konstitusi Jimly Asshiddiqie menanggapi maraknya gugatan judicial review terkaitpresidential threshold terkait pencapresan pada Pilpres 2019 mendatang.
Dia menegaskan, untuk mencari pemimpin yang terbaik, pintu alternatif tidak boleh ditutup. Dikatakan Jimly, rakyat perlu mengekspresikan calon alternatif yang lebih banyak.
“Menentukan yang ideal betul kan rakyat beraneka ragam, juga bisa mengekpresikan melalui memilih calon yang banyak alternatif,” tutur Jimly usai menjadi pembicara dalam Diskusi Bulanan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) dengan tema Presidensial Treshold (PT), Oligarki dan Pemberantasan Korupsi, yang akan diadakan oleh ILUNI UI dan Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi, di Sekretariat ILUNI UI, Gedung Rektorat UI, Lt. 2, Kampus UI Salemba, Jalan Salemba 4, Jakarta Pusat.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menyatakan dukungannya agar gugatan perubahan ambang batas pencalonan presiden (PT) dapat dikabulkan oleh MK.
Ia beralasan jika tidak dikabulkan dapat membuat kegiatan politik menjadi sangat pragmatis dan transaksional.
“Mestinya 0 persen itu lebih baik, sehingga tidak membuat kegiatan politik ini terlalu pragmatis dan transaksional, ndak sehat untuk membina kepemimpinan bangsa dan negara,” ujar Jimly.
Ia menilai jika keputusan itu dikabulkan oleh MK, pemerintahan Jokowi masih tetap akan diuntungkan.
“Maka 20 persen atau 0 persen (PT) bagi pemerintahan incumbent sama saja. Sama saja tapi itu dampaknya jauh lebih baik bagi seluruh rakyat, artinya pertimbangkan praktis kepecah, lawan politiknya jadi terpecah,” tutur Ketua ICMI ini.
Jimly pun berharap, MK bisa bergerak cepat memutus judicial review PT 20 persen. Pasalnya, bila MK terlambat mengabulkan gugatan menjadi 0 persen, maka putusan baru akan berlaku di periode pilpres berikutnya.
“Kalau dikabulkan, kapan diputuskan? Kalau diputus sesudah pendaftaran lebih dari 10 Agustus maka ini hanya berlaku di 2024, jadi kuncinya idealnya sebelum 5 Agustus ya, tapi itu terserah kepada MK,” ujarnya.
Jimly menjelaskan, bagi MK adalah masuk akal bila kali ini gugatan tersebut bisa dikabulkan. Dengan catatan, ada bukti baru dihadirkan pemohon.
“Bukti temuan baru antara lain jangan menggunakan argumen lama, kan yang jelas ditolak, misal argumen barunya soal keserentakan, atau soal data yang nyatanya tidak mungkin bisa tiga koalisi, itu berarti ada hambatan,” ujarnya.
Bukti baru lagi, lanjut Jimly, pemohon bisa menjadikan alasan partai yang dimungkinkan abstain karena ke kubu mana pun. Lantaran, partai tersebut ingin berdiri sendiri, tetapi terganjal aturan ambang batas 20 persen.
“Misal ada partai abstain, dia tidak kanan dan kiri sedangkan angka dia tidak cukup 20 persen nah itukan berarti hak dia terhambat, nah yang begitu bisa diajukan ke MK dia punya legal standing terbukti dia dirugikan oleh aturan 20 persen itu,” tegas Jimly.
Menurut dia, gugatan pemohon untuk direvisinya PT 20 persen menjadi 0 persen. Hal ini didasari dari konstelasi berbeda dengan pemilihan presiden periode sebelumnya.
“Jadi kalau 2014 itu tidak ada petahana ya, beda dengan 2019. Maka MK bisa pertimbangkan dinamika baru, ada kesulitan dihadapi, kita tak bisa mengarahkan cepat kepada dua koalisi, jadi menurut pendapat saya ini (PT nol persen) bagus untuk jangka panjang, baik juga untuk jangka pendek, ke depannya,” pungkasnya.
Pada Kamis 12 Juli 2018, MK menggelar sidang perdana uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut mengatur soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Gugatan kali ini diajukan Muhammad Dandy, seorang mahasiswa yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat pasal tersebut. Kuasa hukum Dandy, Unoto Dwi Yulianto, menuturkan salah satu kerugian yang dialami kliennya adalah munculnya potensi calon tunggal dalam pilpres 2019.
Pasal 222 membatasi calon presiden maju karena harus didukung partai dengan perolehan 20 persen kursi di DPR atau 25 persen dari hasil pemilihan nasional.
“Sebagai pemilih tentu berhak mendapat alternatif dengan sebanyak-banyaknya calon presiden,” kata dia.
Dandy juga merasa dirugikan karena hasil pemilihan legislatif 2014 menentukan pilpres 2019. Padahal dia belum memiliki hak pilih pada lima tahun lalu.
“Presidential threshold jelas merugikan dan mengebiri hak konsitusional karena dia tidak pernah memberikan mandat kepada parpol manapun,” kata Unoto.
Menurut Unoto, hasil pemilu 2014 juga tak bisa digunakan lagi lima tahun berikutnya. Saat itu tak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa keputusan masyarakat akan berdampak pada pilpres 2019. Partai politik hasil pemilu 2014 juga dinilai tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon.
Jika Pasal 222 tetap berlaku, maka hak partai politik untuk mendapat perlakuan sama menjadi raib.
Unoto mengatakan gugatan yang diajukan kliennya berbeda dengan bahan uji materi yang sudah lebih dulu masuk ke MK. Pada Januari lalu bahkan ada satu putusan MK yang menolak uji materi pasal yang sama.
Namun majelis hakim berpendapat lain. Hakim Aswanto menilai tak ada argumen baru dalam gugatan tersebut. Ia mengatakan sudah membandingkan bahan keduanya, namun tak menemukan perbedaan. Tanpa perbedaan, MK tak bisa melanjutkan permohonan uji materi tersebut.
“Harapan kami saudara memiliki permohonan sehingga mahkamah tidak ragu untuk bergeser dari keputusan yang sebelumnya karena ada rasionalitas yang dibangun,” kata dia.
Aswanto menyarankan pemohon mengunggah permohonan sebelumnya dan membuat tabel perbedaan.
Sebelumnya, sejumlah kelompok masyarakat melakukan gugatan ke MK. Paling tidak ada 12 kelompok yang mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke MK.
Gugatan ambang batas pencalonan presiden tersebut bukanlah kali pertama ditangani MK. Ada nama Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pernah menggugat ke MK pada 2017.
Selain Yusril, Partai Idaman bentukan Rhoma Irama juga pernah mengajukan gugatan terhadap pasal ini. Namun MK menolak kedua gugatan tersebut.(JR)