Sudah ratusan triliun rupiah dana buruh dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan masuk sebagai Surat Berharga Negara (SBN). Sampai saat ini, tidak ada penjelasan yang transparan mengenai peruntukan dan penggunaan dana tersebut.
Karena itu, pemerintah dan terutama BPJS Ketenagakerjaan diminta untuk membuka seluas-luasnya peruntukan dana buruh di BPJS Ketenagakerjaan itu.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, selama ini sudah sangat besar dana buruh yang menjadi kelolaan BPJS Ketenagakerjaan tidak kunjung dijelaskan.
Bahkan, tahun ini BPJS Ketenagakerjaan kembali menggelontorkan Rp 73 triliun dana kelolaannya di instrumen SBN.
“Sebaiknya Dirut BPJS Ketenagakerjaan segera menjelaskan tentang rencana menempatkan Rp 73 triliun dana kelolaannya di SBN itu kepada publik,” tutur Timboel Siregar, di Jakarta, Rabu (28/03/2018).
Timboel memaparkan, per Desember 2017 dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 317 triliun. Ditargetkan, penambahan dana kelolaan di tahun 2018 sebesar Rp 70 triliun.
“Sehingga target dana kelolaan di tahun 2018 menjadi Rp 387 triliun,” ujarnya.
Merujuk pada data instrumen obligasi per 31 Desember 2017– yang sebagian besar berupa SBN sementara surat utang swasta sedikit- di BPJS Ketenagakerjaan, lanjut dia, dapat dirinci komposisi dana kelolaan itu, yakni dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang ditaruh di obligasi sebesar Rp 144,82 triliunT (58,78%) dengan Yield on Investment(YoI) sebesar 8,75%.
Untuk dana Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), lanjut Timboel, sebesar Rp 14,91 triliun (64,2%) dengan YOI sebesar 8,69%, dana Jaminan Kemarian (JKn) sebesar Rp 5,33 triliun (68,01%) dengan YOI sebesar 8,99% dan untuk dana Jaminan Pensiun (JP) sebesar Rp 12,93 triliun (56,62 Triliun dengan YOI sebesar 9,71%.
“Tentunya instrumen investasi yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dibatasi oleh berbagai regulasi, baik Peraturan Pemerintah atau PP maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ujarnya.
Mengenai dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang dipergunakan untuk membeli SBN minimal 50 persen, lanjut Timboel, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 1 tahun 2016.
Dana untuk membeli SBN itulah yang akan menambal defisit APBN. “Dan nantinya dana itu dialokasikan untuk pembiayaan infrastruktur. Dana Rp 73 triliun itu bukan untuk penyertaan langsung ke proyek infrastruktur, tapi melalui instrumen SBN,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, kata Timboel, instrumen investasi dana BPJS Ketenagakerjaan juga sudah diatur oleh PP Nomor 55 tahun 2015, yaitu di pasal 26 ayat 2. “Untuk portofolionya diatur di pasal 29,” ujarnya.
Jadi, jika dana sebesar Rp 73 triliun itu sebagai dana baru, menurut Timboel, hal ini aneh. “Kalau dibilang untuk SBN bertambah sebesar Rp 73 triliun ya tentunya akan aneh, karena iuran yang bakal diterima tahun ini adalah Rp 70 triliun. Masa sih semuanya akan digelontorkan ke SBN? Ini tidak mungkin karena akan terkendala PP Nomor 55 Tahun 2015,” ujar Timboel.
Lagi pula, lanjutnya, kalau semuanya ditaruh di SBN berarti YOI yang diterima akan rendah, yakni hanya di kisaran 8-9 persen, seperti YOI di tahun 2017 lalu.
“Demikian juga kalau semuanya ditaruh di SBN, ya apa pula kerja Direktur Investasi untuk mengelola dana yang baru?” ujarnya.
Kemudian, kalaupun dana Rp 73 triliun itu adalah akumulasi dana kelolaan yang selama ini sudah ditempatkan di SBN, menurut Timboel, tetap membingungkan.
“Karena dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang ditempatkan di SBN sudah lebih dari Rp 100 triliun. Kalau dinyatakan dana kelolaan di 2017 sebesar Rp 317 triliun, bila mengacu pada Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2016, maka dana yang ditempatkan di SBN minimal sekitar Rp 158,5 triliun,” ujarnya.
Jika pemerintah jujur, kata dia, tentang dana buruh yang dikelola di BPJS Ketenagakerjaan hendak dipergunakan untuk menambal defisit APBN, maka tidak akan menjadi persoalan.
“Saya kira baik juga agar pemerintah tidak menarik pinjaman lebih besar lagi pinjaman dari luar negeri. Pemerintah bisa memanfaatkan sumber pendanaan yang ada di dalam negeri,” ujarnya.
Namun demikian, lanjutnya, diharapkan dana buruh yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan bisa lebih maksimal lagi pengelolaannya, sehingga bisa memberikan YOI yang lebih besar dibandingkan YOI di 2017.
“Dengan YOI yang lebih besar lagi, dana kelolaan itu bisa dikembalikan kepada buruh, sesuai prinsip SJSN ke sembilan yakni untuk menunjang kesejahteraan buruh,” tutur Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) ini.
Dia pun mendesak Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak sembunyi-sembunyi dalam mengelola dana buruh itu. “Saya berharap Direksi BPJS Ketenagakerjaan bisa menjelaskan lebih detail lagi tentang dana sebesar Rp 73 triliun itu, sehingga tidak diintepretasikan lain oleh kalangan buruh,” pungkasnya.
BPJS Ketenagakerjaan mencatat, hasil investasi per 28 Februari 2018 mencapai Rp 6,68 triliun. Hasil ini hampir meningkat dua kali dari hasil pengembangan di periode yang sama tahun 2017 sebesar Rp 3,44 triliun.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja menjelaskan, kinerja tersebut diperoleh dari penambahan iuran, strategi pengelolaan dana yang tepat dan kondisi pasar yang sangat mendukung.
“Strategi investasi yang kami lakukan selalu berorientasi pada hasil yang optimal untuk peserta, dengan risiko yang terukur, serta tentu saja mengutamakan aspek kepatuhan dan kehati-hatian,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya.
Utoh menyampaikan penempatan dana yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hanya diperbolehkan pada instrumen dan batasan investasi yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015. Ditambah lagi, ada Peraturan OJK yang mengatur batasan penempatan pada Surat Berharga Negara, seperti POJK Nomor 1 Tahun 2016, POJK 36 Tahun 2016 dan POJK 56 Tahun 2017.
Total dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan saat ini sebesar Rp 324,9 triliun. Adapun rincian aset alokasi sebagai berikut: deposito (10 persen), surat utang (60 persen), saham (19 persen), reksadana (10 persen), dan investasi langsung (1 persen).
Dana kelolaan tersebut diinvestasikan pada berbagai segmentasi sektor, seperti sektor keuangan, pertambangan, aneka industri, transportasi, dan infrastruktur.
Segmentasi penempatan pengelolaan dana pada instrumen terkait sektor infrastruktur per 28 Februari 2018 sebesar Rp73,25 triliun. Investasi ini bersifat tidak langsung, melalui instrumen surat utang (obligasi) dan saham. Dari jumlah tersebut, paling besar ditempatkan pada Surat Berharga Negara mencapai 45 persen, Obligasi dan saham BUMN terkait sektor infrastruktur sebesar 55 persen.
Dari pengelolaan investasi di atas, BPJS Ketenagakerjaan memberikan hasil pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) periode Februari 2018 kepada peserta sebesar 9,59 persen. Hasil pengembangan tersebut lebih baik dari tingkat suku bunga counter rate deposito bank pemerintah periode yang sama.
“Kami selalu mengutamakan kepentingan peserta, setiap investasi yang dilakukan pasti telah melalui proses kajian fundamental, teknikal, manajemen risiko dan compliance yang komprehensif. Namun peserta juga harus memahami, hasil pengembangan dapat fluktuatif sesuai dengan kondisi pasar,” ujar Utoh.
Sementara sampai akhir 2018, BPJS Ketenagakerjaan menargetkan dana kelolaan investasi Rp386 triliun. Sedangkan sepanjang tahun lalu, dana pengelolaan BPJS TK sebesar Rp317,2 triliun dengan imbal investasi sebesar Rp 26,71 triliun, atau naik 7,52 persen dari tahun sebelumnya.(JR)