Sidang praperadilan kembali menjadi polemik setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengeluarkan putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Gugatan ini terkait dengan penghentian penyidikan terkait peran Boediono dalam kasus korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian bailout untuk Bank Century.
Direktur program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menuturkan polemik putusan praperadilan kasus Bank Century ini dapat menjadi gambaran bahwa hukum acara praperadilan belum diatur secara detail dan komprehensif. “Terlebih dengan adanya putusan ini, yang akan menjadi preseden bahwa pengadilan dapat memerintahkan seseorang dijadikan tersangka, maka akan menambah hukum acara praperadilan semakin tidak jelas,” katanya dalam siaran persnya, Kamis (12/04/2018).
Berdasarkan hasil penelitian ICJR pada 2013 terkait praktik praperadilan untuk penahanan di Indonesia, ditemukan bahwa hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda. Bahkan dalam beberapa kasus, hakim masuk ke dalam pokok perkara namun dikasus yang berbeda dan mayoritas, hakim hanya menguji konteks ‘formal’ dari praperadilan.
Menurut Erasmus, alasan paling mendasar dari persoalan ini adalah Indonesia tidak memiliki pengaturan praperadilan yang memadai. Pengaturan hukum acara praperadilan di KUHAP masih sangat singkat dan karenanya tidak memadai sebagai mekanisme kontrol sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
“Penambahan kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan pengaturan yang cukup dalam praperadilan,” terangnya. Selain itu, cara menguji dan hukum acara yang digunakan berbeda-beda menyebabkan hakim tidak menerapkan kepastian hukum dan efektifitas sehingga akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi para pencari keadilan.
ICJR mengusulkan, ketidakjelasan hukum ini harus segera dibenahi mengingat lembaga praperadilan merupakan pranata penting untuk menjamin hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana. Banyaknya ketentuan baru sebagai bagian dari upaya paksa haruslah diiringi dengan mekanisme pengawasan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai bentuk penjaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka.
“Atas dasar tersebut, pemerintah harus segera mengambil langkah responsif dan terukur untuk menjamin adanya pengaturan tentang hukum acara praperadilan yang lebih komprehensif, salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah,” tandas Erasmus.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengungkapkan pihaknya sudah enam kali ajukan praperadilan terkait kasus Bank Century. Gugatan praperadilan pertama didaftarkan pada 16 September 2009. Saat itu, KPK tengah menyelidiki dugaan pidana pada kasus Bank Century. Namun, gugatan itu ditolak.
Pihaknya menggugat KPK karena dinilai tidak mengembangkan kasus Bank Century dan dianggap menghentikan penyidikan. Namun, hakim menolak permohonan MAKI karena semestinya praperadilan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 9 April lalu, hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Efendi Muchtar, memerintahkan proses hukum kasus Bank Century bergulir di KPK maupun penegakan hukum lain.
Menurut Boyamin, kasus Century sudah gamblang dan terang karena sudah ada audit investigatif dari BPK dan hasil Pansus DPR yang menyatakan keterlinatan pihak lain. Putusan tersebut juga memerintahkan KPK melakukan penetapan tersangka terhadap mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, mantan Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad dan eks Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede.(JR)