Aktivis Lingkungan Danau Toba, Sebastian Hutabarat menganggap Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin berlebihan alias lebay, karena menunjuk sebanyak 30 Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menangani kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo dan komplotannya.
Sebastian Hutabarat yang pernah menjadi korban tindak pidana kekerasan oleh oknum pengusaha tambang Galian C di Samosir itu merasa heran dengan tata cara Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan Agung, yang sering berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta-fakta dalam menangani perkara.
“Sebanyak 30 Jaksa? Hebat juga ya. Bagaimana dengan kasus kasus lain? Jadi ingat bagaimana saya yang korban aniaya, bisa jadi Tersangka dengan LP yang berbeda, lalu dipaksa bersidang selama setahun utk memaksakan agar juga bisa divonis persis sama 2 bulan dengan penganiaya,” tutur Sebastian Hutabarat, meresponi berita sebanyak 30 JPU dipersiapkan Kejaksaan Agung untuk menangani kasus pembunuhan Brigadir J, Senin (15/08/2022).
Menurut pria yang bermukim di Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara ini, Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kepolisian dan Kejaksaan, sering kali tidak mengusut sebuah perkara dengan semestinya. Malah, kata dia lagi, tidak jarang sebuah kasus dimanipulasi, dan menyebabkan para pencari keadilan malah menjadi korban berkali-kali.
“Andaikan KamaruddinSimanjuntak (Pengacaranya Keluarga Brigadir J-Red) tidak ada, andaikan kita tidak ngotot, berarti kejadian yang diketahui publik adalah matinya Brigadir J karena korban tembak menembak. Alangkah tragisnya korban korban kriminalisasi penegak hukum yang tak mampu bayar lawyer,” beber Sebastian Hutabarat.
Karena itulah, menurut Sebastian Hutabarat, selama ini praktik mafia hukum dan mafia kasus sudah terus menerus terjadi di institusi Kepolisian dan Kejaksaan.
“Jangan-jangan sebenarnya sudah lebih banyak mafia atau yang ikut ‘margotagota’ (terlibat-Red) dengan permainan hukum ini ketimbang yang tidak ikut. Kita yang tidak ikut ‘pola’ atau desain yang ada, seolah jadi aneh dan perlu disingkirkan,” tandas Sebastian Hutabarat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyiapkan 30 Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengawal kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir yang didalangi Irjen Ferdy Sambo.
“Kejagung sudah menunjuk 30 Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk kasus ini,” kata Kapuspenkum Kejaksan Agung, Ketut Sumedana, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Ketut Sumedana mengatakan Kejaksaan Agung telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus pembunuhan Brigadir J.
“Kami baru menerima SPDP,” katanya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memastikan Irjen Ferdy Sambo menjadi aktor utama pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Pernyataan tersebut diungkap Ferdy Sambo saat diperiksa oleh Komnas HAM di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jumat sore, 12 Agustus 2022.
“Kami memeriksa dalam satu ruang khusus. Dia mengakui sebagai aktor utama dari peristiwa ini,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Ferdy Sambo, katanya, mengakui sejak awal merekayasa dan mendistorsi informasi agar peristiwa pembunuhan Brigadir J kasus tembak-menembak.
Polri telah menetapkan empat tersangka pembunuhan Brigadir Yosua. Mereka adalah Ferdy Sambo, Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Brigadir Ricky Rizal, dan KM alias Kuat sopir dari istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati.
Atas perbuatannya membunuh Brigadir J, Ferdy Sambo diancam dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 junto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan hukuman pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, dan 20 tahun perjara.
Pasal yang dikenakan kepada Ferdy Sambo sama seperti yang dikenakan terhadap Brigadir Ricky Rizal, ajudan istrinya, Putri Candrawathi. Sementara Bharada E dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Satu tersangka lainnya yang ikut terjerat kasus pembunuhan Brigadir J ini adalah Kuat, sopir istri Ferdy Sambo.(RED)