Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur, dinilai sebagai legalisasi perampasan dan pengrusakan ekosistem Pesisir Teluk Jakarta.
Perpres yang telah diterbitkan Presiden Joko Widodo itu mengabaikan prinsip pencegahan dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Hal itu ditegaskan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dalam siaran pers bersama yang diterima redaksi, Minggu (24/05/2020).
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang terdiri dari antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Perkumpulan MARE, Rujak Center For Urban Studies, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Jurubicara Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora dari LBH Jakarta menyampaikan, hal itu terlihat dari dipaksakannya proyek reklamasi di Pesisir Teluk Jakarta, khususnya Pulau C, D, G, N serta tanggul pantai dan tanggul laut.
“Perpres Nomor 60 Tahun 2020 itu memutihkan reklamasi Pulau H sebagai bagian daratan. Padahal, diketahui bersama hingga detik ini, Pulau H belum ada secara fisik,” tutur Nelson.
Tak hanya itu, di Pasal 6 Perpres No 60 Tahun 2020 mencakup kawasan perairan 0-12 mil. Cakupan itu seharusnya bukanlah cakupan Prepres ini.
Prepres ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sedangkan daratan pesisir dan perairan 0-12 mil merupakan kewenangan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Indikasi upaya pemutihan pada pemanfaatan ruang tak berijin juga ada pada Pasal 138. Yang justru memungkinkan percepatan ijin selagi sesuai dengan ketentuan.
Selain itu, Perpres ini memungkinkan terjadinya konflik pemerintah secara vertikal, mengingat keharusan penyesuaian dalam berbagai rencana tata ruang di provinsi maupun Kota atau Kabupaten yang harus diikuti oleh pemerintah daerah. Itu dapat dilihat di Pasal 139 ayat 1.
Dan jika ada kekosongan Rencana Tata Ruang di lewat daerah, maka Perpres yang berskala 1:50.000 ini bisa dijadikan acuan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk Perijinan. Sebagaimana tertuang di Pasal 138 dan Pasal 139 ayat 2.
Kawasan Reklamasi ditetapkan sebagai Zona B8. Dengan karakteristik daya dukung lingkungan rendah, prasarana lingkungan sedang hingga rendah, yang berada pada kawasan reklamasi dengan rawan intrusi air laut dan rawan abrasi.
“Zona B8 ditetapkan di Pulau Reklamasi C, D, G, N di pesisir utara kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur,” lanjut Nelson.
Terkait dengan pemutihan kawasan Pulau H, lanjutnya lagi dapat dilihat pada pada lampiran II pada Peta II-54-25-2. Dimana Pulau H dikonversi menjadi kawasan B1 berwarna oranye.
“Padahal, kondisi eksisting saat ini tidak terdapat pulau H tersebut,” katanya.
Zona B1 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, berpotensi dikembangkan untuk bangunan gedung dengan intensitas tinggi baik vertikal maupun horizontal.
Menurut Nelson, Koalisi juga mendapati adanya upaya konversi besar-besaran pada kawasan Lindung di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, DKI Jakarta. Sebesar kurang lebih 200 heltar menjadi berbagai zona lain seperti B7, yang bisa dipergunakan untuk permukiman.
Padahal, Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) di DKI Jakarta masih sekitar 12%. Lagipula, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memandatkan koefisien 30% untuk ruang terbuka hijau.
Terkait dengan proyek tanggul laut dan tanggul pantai yang sebelumnya telah pernah roboh, lanjutnya, mendapatkan legalisasi sebagai pengendalian banjir dan rob.
Proyek tanggul pantai dan laut ini diubah namanya menjadi Rencana Pengaman Pantai dan Konektivitas, dimana sebelumnya bernama National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pembangunan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN).
“Sangat disayangkan ancaman penurunan muka tanah tidak menjadi pertimbangan dalam penetapan Perpres 60 Tahun 2020 itu. Itu terlihat dari diubahnya kawasan yang terjadi penurunan tanah dengan cepat sebagai kawasan pemukiman tinggi atau Zona B1,” tutur Nelson.
Selain itu Hal ini kembali dapat dilihat di Pasal 81 ayat 1 dan 3 Perpres Nomor 60 Tahun 2020. Zona B1 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, berpotensi dikembangkan untuk bangunan gedung dengan intensitas tinggi baik vertikal maupun horizontal. Sebagaimana di Pasal 74 ayat 1 Perpres No 60 Tahun 2020.
Kemudian, di Pasal 44 ayat 7 huruf e Perpres No 60 Tahun 2020. Lampiran II pada Peta II-54-25-2 dimana kawasan rawan penurunan muka tanah yaitu B7 yang sebelumnya diketahui dari berbagai penelitian adalah tempat penurunan muka tanah dengan cepat dan tinggi.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, sangat jelas Perpres Nomor 60 Tahun 2020 telah mengabaikan prinsip penting dalam lingkungan hidup yaitu pencegahan (Preventive Principle) dan kehati-hatian (Precautionary Principle).
“Prinsip pencegahan karena berbagai penelitian yang menunjukkan adanya ancaman penurunan muka tanah telah diabaikan serta adanya ancaman terjadinya liquifaksi,” ujarnya.
Sedangkan dari sisi prinsip kehati-hatian, Perpres No 60 Tahun 2020 mengabaikan perdebatan dan ketidakpastian terhadap dampak lingkungan dari berbagai pembangunan infrastruktur yang dapat timbul dari berbagai proyek yang ada di pesisir Teluk Jakarta. Serta ketidakpastian penyebab dari penurunan muka tanah.
“Oleh karena ketidakpastian ilmiah tersebut, sesuai dengan prinsip ini seharusnya proses pembangunan di Teluk Jakarta dihentikan dan pemulihan Teluk Jakarta menjadi hal yang prioritas,” tegas Nelson.
Perpres Nomor 60 Tahun 2020, lanjutnya, merupakan revisi dan peninjauan dari Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.
“Dimana, Perpres Nomor 54 Tahun 2008 itu memiliki masa berlaku 20 tahun. Namun hingga hari ini kami tidak mendapati adanya dokumen publik mengenai hasil evaluasi dan peninjauan Perpres Nomor 54 Tahun 2008,” tandasnya.(JR)