Perlindungan negara terhadap perempuan buruh migran tidak efektif. Solidaritas Perempuan menemukan masih banyaknya pelanggaran hak dan diskriminasi yang dialami perempuan buruh migran. Meski sudah ada sejumlah undang-undang dan lembaga negara yang bertugas memberikan perlindungan, kondisi perembuan buruh migran tetap memprihatinkan.
Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Dinda Nisaa Yura mengatakan, situasi yang dialami buruh migran Indonesia tidak kunjung membaik. Sejumlah kebijakan dikeluarkan tapi paradigma yang dipakai tidak berubah.
“Kebanyakan perempuan buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), namun di Indonesia pengakuan negara terhadap pekerjaan PRT itu belum ada,” ujarnya dalam diskusi Kaleidoskop Kekerasan Pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran 2016 di LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (05/01/2017).
Ketiadaan pengakuan tersebut berujung pada ketiadaan jaminan perlindungan bagi PRT migran. Akibatnya ketika buruh migran mengalami kekerasan, tidak digaji, dan tidak diberikan libur/cuti, mereka tidak tau harus melapor kemana.
“Anehnya, disaat sebagian besar buruh migran kita adalah PRT, pemerintah malah membuat Roadmap Zero Domestic Worker yang jelas akan menghentikan penempatan PRT migran ke luar negeri,” ujarnya.
Nisaa menilai, pemerintah hanya mengambil jalan pintas. Sementara perlindungan buruh migran tetap diabaikan. Diterangkannya, fenomena buruh migran ini lahir dari kemiskinan struktural di desa-desa.
“Misalnya di Karawang, Jawa Barat, alih fungsi lahan pertanian memaksa masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan untuk beralih profesi, dan banyak perempuan terpaksa jadi buruh migran,” tuturnya.
Sementara, dalam Undang Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, peran swasta malah sangat dominan tanpa adanya pengawasan yang memadai dari negara.
Kasus-kasus yang menimpa buruh migran menjadi sulit ditangani akibat dari pendataan yang carut-marut. Peran kementerian, lembaga negara, hingga pemerintah daerah juga tidak efektif.
“Bahkan ada pemerintah daerah yang tidak tau jumlah warganya yang jadi buruh migran,” katanya.
Nisaa menyebutkan, masalah buruh migran berawal dari dalam negeri. Sebelum menjadi buruh migran pun perempuan sudah mengalami banyak pelanggaran hak dan diskriminasi. Belum lagi jalur migrasi yang penuh eksploitasi dan kekerasan.
“Selama sistem perlindungan tidak memberikan rasa aman maka buruh migran akan terus berada dalam situasi rentan,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Pengacara publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian menyampaikan, buruh migran Indonesia kesulitan mengakses bantuan hukum saat berada di negara penempatan. Peran Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) juga tidak efektif. Mereka beralasan sulit menemukan jasa pengacara pro bono.
“LBH Jakarta bersama jaringan pengacara pro bono se-ASEAN berusaha mencari solusi untuk masalah ini,” katanya.
Saat ini, bersama jaringan pengacara pro bono di Malaysia, LBH Jakarta sedang membuat mekanisme rujukan kasus buruh migran antar negara. Isinya antara lain, standard operational procedure (SOP) penanganan kasus, legal opini, hingga daftar Perusahaan Jasa TKI (PJTKI) yang bermasalah.
“Saat ini baru memasuki tahap pilot project, tidak tertutup kemungkinan juga akan dilakukan di banyak negara,” ujarnya.
Oky menerangkan, proses birokrasi menjadi hambatan dalam pemberian bantuan hukum kepada buruh migran. Misalnya, surat kuasa yang dipegang oleh Kementerian Luar Negeri, bukan oleh korban atau pengacaranya. Selain itu, penyidik kepolisian juga mengaku kesulitan dalam mempidanakan PJTKI.
“Alasannya, itu ranah pengawas ketenagakerjaan dan lebih mudah menjerat pelaku perorangan ketimbang korporasi,” imbuhnya.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya jarang mendapat pengaduan masyarakat terkait perempuan dan anak. Padahal Ombudsman sudah memiliki perwakilan di 34 provinsi. Menurut Ninik, dari sisi pengaduan saja, pemerintah harus menyediakan layanan pengaduan yang mudah diakses dan aman bagi pelapor.
“Sementara dalam kasus-kasus buruh migran, mereka sulit melapor apalagi kalau mereka disekap,” katanya.
Ninik melihat pelayanan publik satu atap bagi buruh migran belum efektif. Contohnya, kantor imigrasi yang belum bisa berikan kewewenangnya kepada pemerintah daerah, hingga pelayanan online yang ternyata tidak online.
Selain pengawasan dalam hal penempatan buruh migran, pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum.
“Dalam kasus-kasus traffiking yang dialami buruh migran ternyata UU Tindak Pidana Perdagangan Orang sangat jarang dipakai, pengadilan tingkat pertama lebih sering memakai KUHP. Sementara pengajuan ganti rugi atau restitusi bagi para korban trafficking juga sangat jarang. Jaksa penuntut umum beralasan korban tidak minta ganti rugi,” ujar Ninik.(JR)