Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga meminta pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Pada peringatan hari lahirnya, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengkritisi gaya hidup individualistik yang sangat massif melanda masyarakat dan jemaat gereja.
Gaya hidup individualistis itu, dijelaskan Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow, sudah kian parah.“Banyak orang semakin tidak peduli dengan orang lain dan apa yang terjadi di sekitarnya. Sejauh tidak menggangu diri saya, maka bukan urusan saya, begitu komentar yang sering kita dengar. Orang makin merasa nyaman hidup sendiri, dan tidak rela keluar dari zona kenyamanannya. Orang lain akan menjadi penting sejauh dia menguntungkan,” ujar Jeirry Sumampow dalam keterangan persnya kepada redaksi (Kamis, 25/05/2016).
Pria yang merupakan aktivis sosial politik ini menjelaskan, relasi antar manusia sudah menjadi sebatas relasi ekonomis, bukan lagi relasi sosial alami yang saling membutuhkan.
“Orang menjadi sibuk mengurus urusannya sendiri, berjuang meraih dan menumpuk materi, kuasa dan kedudukan bagi kepentingan diri dan kelompoknya. Sikap hidup seperti ini tidak jarang bermuara pada keserakahan yang mematikan kehidupan bersama,” papar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) ini.
Bagi PGI, lanjut aktivis pemantau Pemilihan Umum (Pemilu) ini, Gereja pun terkena pengaruh nilai-nilai dan gaya hidup individualistik. Misalnya, gereja masih berkutat pada urusan internal. Acap kali kepedulian terhadap persoalan gereja tetangga masih sangat minim.
“Ironis, bahwa berita Injil menuntut pengikut Kristus untuk hidup dalam persekutuan yang saling peduli dan berbagi, namun tidak jarang kita saksikan masih adanya kesenjangan ekonomi-sosial di dalam jemaat, antar jemaat dan antar denominasi. Jika demikian, gereja pun bisa saja tidak peduli terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat kita,” papar Jeirry.
Mantan Aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jakarta ini menegaskan, gejala kehidupan individualistik di masyarakat dan gereja itu sudah dalam tahap sangat serius. Kepekaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama dapat semakin tergerus.
Dalam konteks ini, maka PGI menetapkan Tema Bulan Oikoumene Tahun 2016, yakni Gereja Yang Peduli Dan Berbagi, yang diinspirasi oleh pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 2 Korintus 8:1-15.
“Tema ini menjadi penting sebab kini acapkali kita hanya mau memberi dari kelebihan kita dan hanya ketika situasi kita sedang nyaman tanpa gangguan,” ujar jebolan STT Jakarta ini.
Dia menegaskan, peduli dan berbagi adalah dua nilai penting dalam kehidupan sebuah masyarakat. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Peduli adalah sebuah sikap dan berbagi adalah sebuah tindakan.
Kepedulian menunjukan kesadaran bahwa jemaat dan masyarakat terikat bersama-sama dengan orang lain dalam satu kehidupan bersama.
“Karena kita hidup dalam bumi yang satu. Dalam kepedulian seperti itulah, kita lalu dengan rela berbagi. Berbagi bukan karena kita kaya, lebih mampu dan mapan. Tapi karena yang lain adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita,” ujarnya.
Berbagi, lanjut Jeirry, juga bukan semata-mata digerakkan oleh rasa kasihan hendak meringankan beban orang lain. “Bukan juga agar kita makin populer, tapi supaya ada keseimbangan. Keseimbangan berarti ada situasi yang harmonis dalam kehidupan, meskipun banyak perbedaan.”
Jeirry kembali mengingatkan tugas dan fungsi gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara. Gereja diutus ke dalam dunia untuk hadir dan bersaksi melalui gaya hidupnya yang peduli dan rela berbagi sebagaimana yang diteladankan oleh Kristus.
Bersama-sama dengan semua yang peduli pada kelanjutan kehidupan yang adil dan sejahtera di bumi ini. “Marilah kita mengusahakan sebuah kehidupan yang lebih baik dan harmonis. Sebuah dunia dimana kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Peduli dan berbagi menggarisbawahi sebuah pengakuan iman bahwa semua manusia saling membutuhkan,” ujarnya.
Setiap tanggal 25 Mei, PGI memperingati hari lahirnya. Pada 66 tahun lalu, PGI didirikan oleh gereja-gereja. Sejak saat itu, maka secara formal dimulailah arak-arakan Gerakan Oikoumene atau Gerakan Keesaan Gereja. Dalam rangka memperingati lahirnya PGI, maka dikalangan gereja, Bulan Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Bulan Oikoumene.
Usia 66 tahun menunjukkan bahwa arak-arakan Gerakan Oikoumene gereja-gereja di Indonesia telah menjalani usia yang tidak muda lagi. PGI menyerukan, agar merayakan rahmat Tuhan yang telah memungkinkan gereja-gereja-Nya bertumbuh bersama, berupaya menyemaikan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua, sebagaimana amanat berita Injil.
“Kita menyambut dengan rasa syukur peningkatan komunikasi dan semangat persaudaraan yang semakin terjalin dengan baik di antara gereja-gereja dari berbagai latar belakang, hal yang merupakan wujud kesaksian gereja sebagai tubuh Kristus yang satu. Begitu juga kita syukuri kerjasama yang semakin berkembang di antara gereja-gereja dan semua anak bangsa dalam menjawab tantangan-tantangan bersama dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita,” papar Jeirry.
Namun, lanjut dia, PGI pun tak boleh cepat berpuas diri. Sebab persoalan terus-menerus hadir, bahkan tantangan semakin meningkat.
“Kita masih terus prihatin. Banyak gereja masih mengalami gangguan dan pelarangan beribadah, kemiskinan dan ketidakadilan masih terus membayangi, paham radikalisme yang menjadikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan persoalan semakin menguat, kerusakan ekologis makin tak terbendung, korupsi masih sulit dibasmi, peredaran narkoba makin tak terkendali, dan perdagangan manusia justru semakin marak,” ujar mantan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP Parkindo) ini.
Di bulan yang berdekatan, lanjut dia, yakni bulan Juni, dalam rangka peringatan Hari Ulang tahun PGI, juga menyongsong tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
“1 Juni, yang selama ini kita kenal dan peringati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Namun, rupanya sampai sat ini belum ada dasar legal yang menetapkan bahwa tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Bagi PGI ini sesuatu yang mengagetkan dan sangat memprihatinkan, mengingat Pancasila adalah Dasar Negara,” kata Jeirry.
Karena itu, dalam peringatan HUT PGI dengan komitmen teguh untuk terus peduli dan berbagi terhadap persoalan bangsa ini, PGI mengusulkan kepada Pemerintah agar tanggal 1 Juni ditetapkan secara formal sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
“Usulan tentang ini sudah kami sampaikan kepada Presiden RI melalui surat yang dikirimkan sejak bulan April yang lalu,” ujar Jeirry.
Usulan itu, lanjut Jeirry, disampaikan kepada Presiden dengan mengemukakan sejumlah landasan dan pertimbangan yakni; tanggal 1 Juni selama ini sudah dikenal masyarakat sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Bahkan peringatan terhadapnya sudah dilakukan setiap tahun di seluruh wilayah tanah air.
“Hal ini terjadi sebab berbagai dokumen sejarah bangsa ini telah menunjukkan otentisitas 1 Juni 1945 sebagai saat pertama kali Ir Soekarno memperkenalkan Pancasila sebagai dasar Negara RI yang ketika itu sedang diperjuangkan kemerdekaannya,” ulas Jeirry.
Beberapa waktu terakhir ini, PGI melihat gejala makin tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Hal itu ditandai dengan makin kuatnya fundamentalisme dan radikalisme keagamaan serta adanya kehendak beberapa pihak yang dengan sengaja ingin merongrong Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Karena itu, penetapan 1 Juni sebagai Hari lahirnya Pancasila menjadi penting untuk menegaskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara yang harus diterima semua Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila, lanjut Jeirry, bisa menjadi momentum sebagai Bangsa untuk mulai melakukan sosialisasi, penyadaran dan penguatan idiologi Pancasila di kalangan masyarakat.
“Agar Pancasila sebagai Dasar Negara betul-betul menjadi fondasi idiologis bagi upaya pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya,” ujarnya.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila hendaknya tidak membuat beberapa peristiwa lain dalam rangkaian sejarah idiologi Indonesia menjadi tidak penting atau diabaikan, seperti, Peristiwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni dan Hari Lahirnya UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945.
“Kedua peristiwa tersebut, dan juga peristiwa lainnya yang berada di antara tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peristiwa tanggal 1 Juni. Semua itu merupakan sebuah rangkaian yang utuh dari proses perumusan idiologi Pancasila sebagai Dasar Negara kita,” pungkas Jeirry.(JR-1)