Dalam peringatan Hari Hutan Sedunia pada 21 Maret, sejumlah kelompok masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan sikap bersama terkait industri kelapa sawit yang berkelanjutan Indonesia. Mereka menuntut dibukanya partisipasi aktif dan transparan dalam proses ‘penguatan’ yaitu pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang saat ini sedang diupayakan oleh Pemerintah.
Direktur eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Soelthon G. Nanggara, meminta agar transformasi kelapa sawit bekelanjutan Indonesia harus berlandaskan visi bersama untuk menghentikan laju deforestasi pada tutupan hutan yang tersisa dan degradasi terhadap fungsi lingkungan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
“Transformasi ini harus mampu menghentikan alih fungsi dan meningkatkan perlindungan hutan serta perlindungan total ekosistem lahan gambut,” katanya di Jakarta, Rabu (22/03/2017).
Selain itu pemerintah harus memberikan jaminan hukum atas terjaganya hak masyarakat terdampak, termasuk namun tidak terbatas pada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, pekebun rakyat dan pekerja, secara nyata dan konsisten.
Soelthon menilai buruknya kredibilitas dan akuntabilitas dalam implementasi sertifikasi ISPO saat ini, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran telah merugikan lingkungan dan menimbulkan konflik antara masyarakat dan perkebunan kelapa sawit.
Apalagi pada April 2016, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk melakukan moratorium sawit yang seharusnya dapat menghentikan alokasi ekspansi lahan sawit, baik untuk perusahaan maupun dengan dalih keperluan ‘pekebun rakyat’.
“Saat ini, kelompok bisnis dan pendukungnya terus berupaya dengan keras agar prinsip-prinsip yang akan diterapkan nantinya, tidak mempersulit rencana perluasan kebun sawit dan selalu menggunakan dalih ‘pekebun rakyat’ dan isu-isu nasionalisme yang tidak kuat dasarnya sebagai pelindung ketika terjadi kritik bagi perbaikan industri sawit di Indonesia,” terangnya.
Aktivis Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marcel Andry, menyebutkan sangat disayangkan bahwa dalam proses perjalanan penguatan ISPO tersebut, juga terjadi pengabaian kesepakatan dan masukan kelompok masyarakat sipil terkait substansi prinsip dan standar ISPO.
“Termasuk penghilangan dua prinsip, yaitu transparansi dan penghargaan terhadap HAM, situasi ini telah mencederai proses multi-pihak yang tengah berlangsung,” katanya.
Perbaikan sistem sertifikasi ISPO harus dilakukan menyeluruh melalui proses rancang ulang yang partisipatif, inklusif, transparan dan akuntabel. Sistem sertifikasi ISPO yang baru harus mencakup standard keberlanjutan yang kuat (robust) dan tata laksana yang menjamin kredibilitas dan akuntabilitas.
“Sistem sertifikasi ISPO harus diikuti dengan penegakan hukum yang efektif serta kerangka kebijakan komprehensif untuk memastikan tercapainya perbaikan tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, mengatakan secara global hutan menyediakan energi sekitar 10 kali lebih besar dari konsumsi tahunan energi utama dunia. Di Indonesia, dengan lebih dari setengah area di daratan yang tertutupi oleh pohon, tersimpan biomasa yang berlimpah, yang dapat digunakan penduduknya untuk memenuhi kebutuhan energi.
“Belakangan ini, kita telah mulai mewujudkan potensi besar hutan melalui penciptaan energi yang lebih efisien dan berkelanjutan, misalnya dalam bentuk pelet kayu dan bahan bakar hayati,” katanya di Jakarta, Rabu (22/03/2017).
Selain itu, hutan merupakan tempat dari berbagai bentuk energi lainnya seperti panas bumi, tenaga air, bahkan tenaga angin. Hutan juga menjadi sumber energi sangat besar bagi pembangunan ekonomi dan manusia di Indonesia.(JR)