Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa pada 22 Juli ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai lembaga sering berhadapan langsung dengan jaksa penting untuk menyuarakan refleksi terkait situasi faktual seputar permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di lembaga kejaksaan. LBH Jakarta menyebutkan masih banyak masalah dalam kinerja kejaksaan.
Kepala Bidang Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menuturkan, UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sudah tegas dan jelas telah menempatkan posisi jaksa sebagai salah satu profesi penegak hukum yang dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, terutama fungsi Jaksa sebagai pengendali suatu perkara (dominus litis) dalam proses penyidikan.
Namun demikian masih saja terdapat permsalahan-permasalahan krusial terkait kinerja kejaksaan. Dalam kurun waktu 2014 sampai 2017, LBH Jakarta mencatat beberapa permasalahan yang pernah diadukan dan ditangani LBH Jakarta.
“Diantaranya dugaan pemerasan yang dilakukan oleh seorang jaksa, tidak adanya pengawasan terhadap proses pemeriksaan perkara pidana, minimnya jaminan perlindungan anak dalam pemeriksaan di kejaksaan, hingga sulitnya akses untuk memperoleh informasi dan salinan berkas perkara yang akan berkaitan dengan pembelaan seorang terdakwa,” katanya dalam siaran persnya, Selasa (25/07/2017).
Pihaknya juga kerap berhadapan dengan jaksa yang tidak menguasai perkara yang ditanganinya. Seperti yang terjadi pada tahun 2016, kasus salah tangkap yang berujung pada praktek penyiksaan yang menimpa Andro dan Nurdin, pengamen Cipulir yang dituduh melakukan pembunuhan.
“Mereka dipaksa mengaju telah melakukan tindak pidana pembunuhan, namun pada yang akhirnya memperoleh putusan bebas,” ujarnya.
Kondisi yang sama juga dialami Herianto, Aris dan Bihin yang dituduh melakukan tindak pidana pencurian motor dan penadahan pada Juni 2017. Namun ketiganya mendapatkan penetapan hakim untuk tidak dilanjutkan persidangannya karena penetapan status tersangka yang disandangkan kepada mereka dinilai hakim tidak sah.
“Ironisnya, kasus seperti yang dialami Andro, Nurdin, Herianto, Aris dan Bihin tersebut, bukanlah yang pertama kali terjadi. Selama 3 tahun terakhir, LBH Jakarta mencatat sekurang-kurangnya terdapat 37 kasus salah tangkap yang berakhir pada praktek penyiksaan dan beberapa diantaranya dinyatakan terbukti tidak bersalah,” terang Arif.
Menurutnya, angka ini belum merepresentasikan kasus-kasus lain dimana para korbannya tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum atau turut diawasi kasusnya oleh sorotan media massa.
Pengacara publik LBH Jakarta bidang fair trial, Ayu Ezra Tiara menambahkan, kecenderungan jaksa yang hanya sekedar melanjutkan berkas perkara yang diberikan oleh penyidik kepadanya membuat peran jaksa dipandang seperti ‘kurir’ atas perkara yang disidik oleh polisi.
Dari contoh kasus di atas jaksa tidak mengetahui dasar perkara yang sedang mereka tangani. “Penguasaannya yang minim tersebut tentu akan menghasilkan dakwaan yang tidak adil pula dan selanjutnya ketika jaksa tidak berhasil membuktikan adanya tindak pidana di pengadilan Jaksa terus mengajukan upaya hukum banding bahkan hingga kasasi,” katanya.
Seharusnya kegagalan jaksa dalam membuktikan dakwaannya dijadikan sebagai sebuah peringatan agar jaksa tidak gegabah menerima perkara dan membawanya ke pengadilan. Berdasarkan fakta-fakta hukum dan permasalahan ini LBH Jakarta mendesak lembaga kejaksaan untuk dapat memaksimalkan fungsi Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis).
“Serta meningkatkan sistem pengawasan internal di lembaga kejaksaan untuk meminimalisir jaksa-jaksa yang melakukan pelanggaran bahkan merugikan posisi sang pencari keadilan,” tandasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo mengakui masih banyak tantangan yang harus dihadapi aparat kejaksaan dalam melaksanakan penegakan hukum.
“Ya saya rasa semua tahu, sekarang bagaimana situasi dan kondisi di tengah masyarakat, banyak tantangan dari segala aspek,” ujarnya.
Prasetyo menerangkan, penegakan hukum masih rawan dipengaruhi oleh berbagai dinamika yang terjadi di bidang politik, ekonomi, maupun keamanan. Belum lagi, aparat kejaksaan dihadapkan dengan dinamika perubahan peraturan dan perundangan.
Dalam menghadapi itu semua, jaksa dituntut untuk tetap menunjukkan profesionalitas dan bekerja secara proporsional.(JR)