Seperti kebanyakan pelayanan di rumah sakit, pelayanan di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM), di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, belum profesional.
Di rumah sakit milik pemerintah dan sebagai salah satu terbesar di Indonesia ini, pasien dan keluarga pasien yang menjagai sanak saudaranya, masih diperlakukan bagai gembel, mirip pengemis dan atau gelandangan.
Niat mengobati penyakit, setiap kali berurusan dengan Rumah Sakit—terutama Rumah Sakit Umum—milik pemerintah, malah penyakit baru yang sering muncul. Penyakit sering tidak sembuh, penyakit baru bermunculan.
Mata hari sudah perlahan condong ke Barat. Selasa sore (27/11/2018), Nenek Ligar Arum tampak sedang dikerokin oleh putrinya Desy. Nampaknya wanita berusia lanjut itu sedang kena serangan masuk angin.
Nenek Ligar beserta Desy dan Anak Menantunya Agus, bersama dua orang cucunya sudah tiga hari ini menginap di selasar lantai 1 Gedung Intensif Gawat Darurat (IGD) RSCM.
Dengan beralaskan tikar seadanya, sejumlah pakaian di dalam tas ditaruh di atasnya. Botol-botol air mineral pun dijejer di antara tumpukan tas berisi pakaian. “Kalau hujan, tampias juga ke dalam sini,” tutur Nenek Ligar menunjuk bagian atap selasar yang bolong, sembari meringis dikerokin Desy.
Warga Bogor, Jawa Barat itu terpaksa harus menginap dengan menggelar tikar seadanya di sisian selasar RSCM. Putrinya satu lagi, Dede sedang dirawat di ruangan IGD, tak bisa bebas dijagai.
Sudah satu tahun Dede dibawa berobat untuk menyembuhkan sakit tumor di bagian tulang belakangnya. Nenek Ligar dan keluarganya, setia membawa Dede berobat ke RSCM.
“Lagi menunggu kondisinya membaik dan masih diperiksa. Kata dokter, nanti kalau sudah bisa akan dilakukan operasi,” tutur Nenek Ligar.
Di selasar itulah para keluarga pasien yang menjagai pasien yang dirawat inap di RSCM menunggu dan tidur. Khusus pasien yang dirawat di lantai I, para keluarganya boleh menunggu di lokasi yang berada di sebelah kanan IGD. Berupa ruangan berbetuk L. Di lokasi ini terdapat kantin, usaha foto kopi, pedagang makanan dan minuman ringan.
Di bagian dalam disediakan bangku-bangku berjejer, yang juga dipergunakan oleh para keluarga untuk duduk dan tidur. Sebuah kotak kayu bertingkat, loker, ditempatkan di bagian pinggir tengah, sebagai tempat menaruh barang bawaan.
Bukan hanya Nenek Lingar dan keluarganya yang menginap dan membentangkan lapak tidur di ruangan itu. Sejumlah keluarga pasien lainnya juga melakukan hal yang sama. Aktivitas makan, minum, cuci, menge-charge telepon genggam, dan sholat pun dilakukan di tempat itu.
“Enggak punya uang. Ya kita nginap di sini saja. Yang penting Dede (putrinya) bisa berobat dan kiranya sembuh kembali,” pinta Nenek Ligar.
Usai dikerok, Nenek Ligar merapihkan pakaiannya. Mengenakan kembali kerudung. Desy, putrinya mengambil anak laki-lakinya yang paling kecil, dan menyusuinya. Selasar ini, orang-orang ramai lalu lalang.
“Perawat dan petugas di sini kasar-kasar. Sering bentak-bentak dan menghalang-halangi kalau kita bertanya,” tutur Desy.
Desy mengeluhkan pelayanan dari bagian administrasi yang arogan. Selain itu, informasi sesat sering disampaikan ke pasien dan keluarga pasien. “Ada yang bilang penyakit Dede takkan sembuh. Biayanya mahallah, penyakit susah. Akan habiskan banyak uang. Itu bikin kita sedih,” ucap Desy. Ucapan Desy itu diangguki Nenek Ligar. “Ya kami memang orang desa, orang kampung, tetapi kami mau Dede sehat kembali. Para petugas, jangan kampungan dan bentak-bentak kami dong,” ujar Nenek Ligar.
Saat Dede dibawa ke RSCM, selama kurang lebih satu jam, dibiarkan, tidak dilakukan apa-apa oleh pihak rumah sakit. Karena merasa kasihan dan inisiatif, Desy dan Nenek Ligar mencoba membenahi tempat tidur Dede, juga membetulkan selang di tangan Dede.
“Eh, malah kami dibentak-bentak oleh perawatnya. Dibilang kalau ada apa-apa nanti mereka tidak akan tanggung jawab. Mereka bilang selagi belum ada instruksi Dokter, para perawat tidak akan menjamah Dede,” tutur Desy.
Agus, suami Desy tiba dari membeli air mineral. Agus menyampaikan, Dede dirujuk dari Puskesmas dari Bogor untuk dibawa ke RSCM.
“Kalau tidak ada rujukan dari faskes pertama (fasilitas kesehatan), maka pasien akan ditolak oleh RSCM. Ada kemarin pasien, karena langsung dibawa ke sini, belum pernah ditangani di faskes, ditolak tuh oleh pihak rumah sakit,” tutur Agus.
Untungnya, menurut Agus, Dede langsung dilarikan estafet dari Bogor ke RSCM berdasarkan rujukan dari Faskes Bogor. “Kalau tidak, wah kami ditolak juga mungkin,” ucapnya.
Dia berharap, Dede dan pasien lainnya di RSCM ditangani secara profesional dan penuh sentuhan kemanusiaan. Sebab, begitu banyak pasien yang karena tidak punya uang dan tidak memiliki kartu peserta jaminan kesehatan, ditolak.
“Kami melihat dan merasakan, banyak yang belum profesional dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit ini,” ujar Agus.
Selain itu, perlakuan para perawat dan petugas di RSCM harus dibenahi. “Ini rumah sakit pemerintah. Kami membawa Dede berobat juga dengan biaya negara. Maka hendaknya dilayani dan diobati dengan baik. Profesionallah. Jangan malah dibiarkan, malah kami yang dibentak-bentak dan ditakut-takuti,” kata Desy menimpali.
Nenek Ligar menjadi cemas dengan tidak profesionalnya pelayanan yang dialami mereka. Lantaran, menurut dia, nanti berpengaruh pada pengobatan Dede di RSCM.
“Banyak yang begitu bang. Disampaikan kondisi yang sebenarnya, malah pasien dan keluarganya yang ditekan. Jangan sampai Dede diperlakukan atau dibuat aneh-aneh ya bang,” ujar Nenek Ligar.(JR/Nando)