Ketua Setara Institute, Hendardi meminta penghentian previlege hukum bagi TNI, untuk menghentikan terulangnya kembali penyerangan membabibuta ke Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur.
Pada Jumat tengah malam, tanggal 28 Agustus 2020, Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Ciracas menjadi sasaran penyerangan sekelompok pengacau. Berdasarkan kronologi serta berbagai kesaksian masyarakat, penyerangnya diduga teridentifikasi sebagai anggota TNI.
Seratus orang lebih dengan mengendarai sepeda motor, mendatangi Mapolsek Ciracas yang kemudian membakar mobil, motor, dan menganiaya petugas yang sedang piket di Mapolsek.
Sebelum menyerang Mapolsek Ciracas, gerombolan yang sama melakukan perusakan di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Mereka menganiaya dan melukai warga sipil.
Gerombolan juga melakukan razia, perusakan kendaraan disertai pemukulan terhadap warga pengguna jalan raya di Jalan Raya Bogor dari arah Cibubur sebelum Mapolsek.
“Setara Institute mengutuk keras tindakan brutal yang dipertontonkan sejumlah orang. Perilaku mereka merupakan kebiadaban terhadap aparat keamanan negara dan warga sipil. Tindakan melawan hukum dan main hakim sendiri yang dipertontonkan, jelas mengganggu tertib sosial dalam negara demokrasi dan negara hukum. Mereka juga merusak dan mengancam keselamatan masyarakat, utamanya warga sipil,” tutur Hendardi, dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Senin (31/08/2020).
Hendardi menegaskan, jika benar oknum TNI terlibat dalam peragaan kekerasan ini, maka berulangnya peristiwa kekerasan yang diperagakan oleh sejumlah oknum TNI salah satunya disebabkan karena TNI terlalu lama menikmati keistimewaan dan kemewahan (previlege) hokum. Karena anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum.
Kemudian, lanjutnya, reformasi TNI juga tampak hanya bergerak di sebagian aras structural, tetapi tidak menyentuh dimensi kultural dan perilaku anggota.
Kemandekan reformasi TNI, telah menjadikan anggota TNI immun dan terus merasa supreme menjadi warga negara kelas 1.
Kebiadaban yang diperagakan pada tanggal 28 Agustus 2020 itu, menurut Hendardi, telah menggambarkan secara nyata kegagalan reformasi TNI.
Previlege dan immunitas yang sama juga akan terjadi ketika TNI melalui Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme jadi disahkan oleh Presiden Jokowi.
“Tidak bisa dibayangkan, atas nama memberantas terorisme, kebiadaban dan unprofessional conduct seperti diperagakan dalam peristiwa terbaru ini akan menjadi pemandangan rutin dan dianggap benar oleh peraturan perundang-undangan. Performa penanganan tindak pidana terorisme akan bergeser menjadi peragaan anarkisme kelompok yang dilegitimasi hukum tanpa mekanisme akuntabilitas yang adil,” jelas Hendardi.
Karena itu, Hendardi menegaskan, tidak ada pilihan lain bagi aparat hukum untuk mengusut tuntas kekerasan dan kebiadaan yang terjadi apda 28 Agustus 2020 itu, termasuk kemungkinan meminta pertanggungjawaban oknum TNI jika terlibat.
“Tidak boleh muncul kesan dari institusi dan pihak manapun untuk memaklumi apalagi melindungi perilaku biadab yang dipertontonkan secara terbuka tersebut. Rule of law harus menjadi panglima untuk mewujudkan tertib hukum dan tertib social,” jelasnya.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi dituntut untuk kembali mendorong gerbong reformasi TNI yang menunjukkan arus balik, termasuk membatalkan rencana pengesahan RPerpres Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme dan memprakarsai revisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Dengan agenda utama memastikan kesetaraan di muka hukum. Bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum, sebagaimana umumnya anggota masyarakat lain,” tandas Hendardi.(JR)