Oleh: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Pada saat Presiden Jokowi hadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 ASEAN-Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tanggal 13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar lalu. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyampaikan tiga hal utama terkait kerjasama kemitraan ASEAN-RRT, yakni: 1). Peningkatan kerjasama di bidang ekonomi untuk kesejahteraan, pertumbuhan seimbang, investasi berkualitas, dan pedagangan. 2). Pembangunan infrastruktur regional. 4). Peningkatan kerjasama di bidang konektivitas maritime.
Menurut data yang bersumber dari Ditjen KSA tahun 2014 bahwa hubungan kerjasama ASEAN dengan RRT dimulai secara informal pada tahun 1991 dan menjadi mitra wicara penuh ASEAN pada tahun 1996. Kerjasama kemitraan ASEAN-RRT meningkat menjadi kerjasama kemitraan strategis pada tahun 2003. Kerjasama yang menonjol dari kerjasama kemitraan ASEAN-RRT adalah kerja sama ekonomi dan maritim.
Perdagangan ASEAN-RRT menunjukkan tren yang positif dengan total ekspor USD 145,705 miliar pada tahun 2011, naik 28,9 persen dari tahun sebelumnya. Dalam bidang maritim, tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun Kerja Sama Maritim ASEAN-RRT. Bukan saja pada masa rezim Jokowi kerjasama tersebut, pada rezim sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono telah bebani negara dengan berbagai kerjasama demi meraup untung dari kekayaan laut Indonesia.
Mengutif transkrif Ono Surono dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada Rabu 13 April 2016 bahwa kerjasama Indonesia-RRT mulai dari tanggal 23 April 2004, Pemerintah Indonesia MoU dengan Pemerintah China RRT yang ditandatangani oleh Men-KKP dan Mentan tentang perikanan.
Kemudian berlanjut pada tanggal 25 April 2005, deklarasi bersama antara RI dan RRT mengenai kemitraan strategis. Hal ini berulang kembali untuk memantapkan program kerjasama, sehingga memerlukan MoU, sebagaimana pada tanggal 21 Januari 2010, Rencana aksi implementasi Deklarasi Bersama antara RI dan RRT mengenai kemitraan strategis. Untuk memperkuat jalannya pendudukan aseng China RRT, pemerintah Indonesia saat itu menggelar karpet merah bagi China RRT melalui MoU (kerjasama) pada 23 Maret 2012, MoU kerjasama Maritim antara pemerintah RI dan RRT.
Yang paling dahsyat bahwa hingga hari ini MoU itu belum dicabut oleh pemerintah RI. Apalagi MoU ini sedang dijalankan Men-KKP sekarang. Pada tanggal 2 Oktober 2013 terjadi diadakan MoU Kerjasama KKP RI dengan Kementan RRT, yang isinya menyepakati tentang banyak hal, termasuk konspirasi rampok laut Indonesia melalui berbagai isi MoU seperti meningkatnya investasi perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan produk dan pemasaran.
Selain itu, China RRT mengatur pemerintah Indonesia agar lakukan pencegahan, penghalangan dan penghapusan perikanan illegal, yang paling penting mereka tidak dilaporkan dan tidak diatur-atur sebagai pelanggaran kedaulatan Indonesia. Hal ini diatur dalam MoU tahun 2013 itu sejak zaman pemerintahan SBY – Boediono. Tidak sampai di situ RRT juga mendorong dan mendukung tindakan negara di berbagai pelabuhan untuk mencegah, menghalangi dan menghapuskan perikanan illegal, asalkan mereka tidak tidak dilaporkan dan tidak diatur.
Dalam MoU tahun 2013 itu bahwa pemerintah Indonesia dan RRT juga siap saling bertukar data dan informasi, mulai dari data eksport dan import produk perikanan, pendaratan ikan jika ada, usaha patungan dan investasi di darat, registrasi dan sertifikasi kapal penangkap ikan di bawah pengaturan yang merujuk kepada pasal III MoU ini. Semua ini di bawah kendali RRT yang bebas mereka lakukan apa saja di negeri ini.
Pemerintah menduga dengan MoU tersebut membawa keberuntungan, namun ternyata malapetaka bagi masa depan perikanan Indonesia. Mengapa demikian? MoU tersebut telah jauh masuk kearah pengembangan kerjasama secara teknis di bidang perikanan tangkap berkelanjutan, perikanan budidaya, teknologi pasca panen dan produk perikanan bernilai tambah, perlindungan keanekaragaman hayati perikanan hingga pendidikan, pelatihan dan penyuluhan di bidang perikanan dan kemudian disepakati juga dibentuk Komisi Bersama untuk menindaklanjuti MoU.
Sekarang mayoritas MoU itu dijalankan Menteri KKP sekarang ini, terutama soal kerjasama dengan aseng asing dalam hal sosialisasi dan penyuluhan perikanan. Dalam berbagai kesempatan penyuluhan itu termasuk soal penengelaman kapal asing yang ditangkap, menjaga ekosistem laut, dan pembatasan alat tangkap nelayan.
Terbukti, disepakati melalui perjanjian baru pada 3 Maret 2014, Delegasi Pemerintah Indonesia Delegasi Indonesia yang dipimpin Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Gellwyn Jusuf menggelar pertemuan pertama Joint Committee on Fisheries Cooperation dengan delegasi China yang dipimpin oleh Deputi Direktur Jenderal Biro Perikanan Kementerian Pertanian RRT Cui Lifeng, di Beijing.
Dalam pertemuan yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU Perikanan RI-China yang ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI dan Menteri Luar Negeri RRT pada 2 Oktober 2013, di Jakarta itu, dibahas dua agenda pokok yaitu rancangan pengaturan kerjasama penangkapan ikan dan pengelolaan daerah perikanan terpadu di Natuna. Nah, di Natuna dikenal dengan pengelolaan daerah perikanan terpadu dimana aspek MOU ini lebih kepada pemindahan nelayan dari Pulau Jawa ke Natuna terutama Alat tangkap Pukat Tarik yang selama ini dilarang.
Jadi sebenarnya, usulan Rizal Ramli dkk bahwa nelayan harus pindah ke Natuna itu merupakan agenda asing yang telah di ikat oleh banyak MOU sebelumnya.
Pembahasan kedua isu tersebut dipandang penting guna menyamakan persepsi mengenai penataan kerja sama investasi di bidang perikanan, khususnya yang terkait dengan hal-hal yang perlu dimasukkan dalam pengaturan pelaksanaan (implementing arrangement) yang akan dibahas dalam pertemuan Maritime Cooperation Committee pada minggu ketiga Maret 2014 di Jakarta. Pada dasarnya MoU tersebut bebani Indonesia bahwa pemerintah mengijinkan beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan berbendera Asing sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku dalam kerangka penanaman modal asing.
Namun demikian, Indonesia melihat masih terjadi penyalahgunaan perijinan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Sampai saat ini MoU tersebut belum dibatalkan sama sekali. Salah satunya adalah yang terkait dengan status kapal berbendera Indonesia namun ditenggarai milik perusahaan Asing. Ini masih ada pembiaran dari pemerintah sampai sekarang.
Pemerintah Indonesia harusnya melakukan pendataan, verifikasi, terhadap perusahaan perikanan Asing yang selama ini menguras kekayaan laut Indonesia melalui banyak MoU dengan pemerintahan sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono.
Para Asing yang memiliki bisnis industri perikanan mengiming-iming agar perikanan tangkap dan system pengelolaan ikan secara berkelanjutan, termasuk penggunaan tangkap nelayan yang selama ini dilarang oleh KKP. Justru, agenda – agenda pelarangan alat tangkap, penenggelaman kapal dan pergantian alat tangkap merupakan issu susupan asing kedalam kebijakan Kelautan dan Perikanan agar nelayan tradisional maupun nelayan Indonesia sendiri buntung lalu mati dan asing yang merasa diuntungkan.
Pemerintah Indonesia melalui kementerian Kelautan dan Perikanan sebaiknya mengkaji tentang alih fungsi kapal yang masih layak digunakan oleh nelayan Indoneaia. Kapal-kapal yang sudah di sita tidak harus ditenggelamkan, tetapi di alih fungsikan. Sebagai contoh, jika kapal yang digunakan sudah berbendera Indonesia maka kapal tersebut hendaknya diawaki oleh anak buah kapal Indonesia, meski kapal tersebut berasal rampasan pencurian ikan. Tidak harus ditenggelamkan.
Untuk itu diusulkan agar jika terdapat kapal Asing yang sudah berganti bendera Indonesia maka hendaknya dikeluarkan sertifikasi penghapusan status kenegaraan dan dilabelkan status baru sebagai kapal Indonesia.
Jika dilakukan pembiaran terhadap perusahaan Asing yang tidak kredibel tersebut, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan sendiri. Selanjutnya guna melakukan penataan terhadap perusahaan perikanan Asing yang beroperasi di Indonesia dan kapal-kapal yang digunakan di Indonesia. Maka, sebaiknya kebijakan KKP lebih oada akselerasi program kelembagaan dan mensertivikasi seluruh usaha-usaha perikanan dengan label Indonesia.
Karena banyak perusahaan milik Asing merajai laut Indonesia untuk memasok, mencuri hingga mengguras sumberdaya laut Indonesia. Artinya bahwa kedaulatan Indonesia dipandang sebelah mata oleh mereka. Apalagi kebijakan-kebijakan KKP RI sekarang cenderung memberi tempat pada banyak perusahaan Asing selama MoU belum dibatalkan, maka hingga kapanpun kedaulatan Indonesia akan dirongrong oleh para pengusaha hitam dan komplotan asing yang mengeruk seluruh kekayaan alam dan laut Indonesia.
Akhirnya, dengan segala bentuk apapun MOU, kebijakan penenggelaman kapal, pelarangan alat tangkap sangatlah membuat nelayan Indonesia tak mampu mendapatkan haknya. Bahkan tak ada upaya untuk melawan kebijakan pemerintah yang menindasnya mereka sendiri. Sehingga dalam situasi inilah Asing diuntungkan dan nelayan sendiri sangat dibuntungin oleh pemerintah sendiri. Selamatkan Indonesia.***