Pemerkosa Dibebaskan, Hukum Tidak Adil

Pemerkosa Dibebaskan, Hukum Tidak Adil

- in HUKUM, NASIONAL
1474
4
Pemerkosa Dibebaskan, Hukum Tidak Adil.

Penegakan hukum atas kasus perkosaan masih belum memperhatikan keadilan bagi korban. Tak jarang penegak hukum juga menyalahkan korban dalam kasus tersebut. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan perlu ada pembenahan dalam penegakan hukum untuk mendorong adanya keadilan bagi korban perkosaan.

Direktur eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, menuturkan pada 22 Agustus 2017 lalu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin menjatuhkan putusan bebas kepada 7 orang pelaku pemerkosaan terhadap S, dimana 3 dan 4 orang pelaku dalam berkas terpisah.

Dalam putusan itu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarmasin membatalkan putusan Pengadilan Negeri Marabahan Nomor 20/Pid.B/2017/PN Mrh. yang sebelumnya menghukum ketujuh pelaku dengan masing-masing 7 tahun penjara karena terbukti bersalah secara bersama-sama melakukan perkosaan yang dilakukan secara berlanjut sesuai dengan Pasal 285 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa pelaku terbukti bersalah melakukan perkosaan terhadap S yang dilakukan sebanyak 6 kali dalam kurun waktu Juli sampai dengan September 2016. Namun hal yang berbeda kemudian diputuskan pada putusan tingkat banding, majelis hakim PT Banjarmasin membebaskan ketujuh pelaku dengan beberapa pertimbangan.

“ICJR prihatin dengan beberapa pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam Putusan No 42/PID/2017/PT BJM, pertimbangan tersebut cenderung memojokkan korban,” katanya dalam siaran persnya, Selasa (12/0-9/2017).

Dalam putusan Pengadilan Tinggi itu, ICJR mencatat hakim berdalih bahwa unsur kekerasan dan ancaman kekerasan tidak terbukti. Hakim juga tidak segan menyatakan bahwa keterangan korban tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pelaku dinilai tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang dijelaskan korban. Bahkan hakim juga secara gamblang mengisyaratkan bahwa korban menghendaki adanya perkosaan tersebut.

“Hal yang lebih memprihatinkan ditunjukkan dengan pertimbangan hakim yang tidak mempercayai keterangan korban dengan memberikan pertimbangan bahwa seharusnya korban mengalami keguguran akibat pemerkosaan yang dialaminya. Hakim juga secara terang-terangan menyalahkan korban yang tidak sedari awal melaporkan pemerkosaan yang dialaminya,” ujar Supriyadi.

Menurutnya, putusan ini jelas menjadi sebuah bukti nyata minimnya jaminan perlindungan korban kekerasan seksual khususnya pemerkosaan dalam peradilan pidana Indonesia. Aparat penegak hukum termasuk didalamnya majelis hakim yang seharusnya menjadi corong keadilan ternyuata tidak segan-segan untuk menyalahkan korban, memojokkan korban bahkan mempermalukan korban, bahkan secara terang-terangan mengabaikan kondisi korban yang mengalami trauma dan depresi.

“Hakim harus mengkaji secara progresif pembuktian unsur kekerasan dan ancaman kekerasan yang tidak lagi hanya dimaknai sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan fisik, ataupun luka yang dialami oleh korban, namun harus didasarkan pada kondisi korban dalam memberikan persetujuannya secara bebas dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang relevan,” terangnya.

Putusan tersebut, lanjut Supriyadi, jelas menjadi sebuah peringatan bagi para pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan untuk mengevaluasi apakah peraturan yang selama ini ada telah mampu memberikan perlindungan kepada korban dan apakah pelaksanaan praktik peradilan pidana khsusunya untuk kasus kekerasan seksual telah mengakomodir kepentingan korban.

Peneliti ICJR, Meidina Rahmawati, menambahkan situasi ini menjadi momentum untuk mensosialisasikan dan mengoptimalkan penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan berhadapan dengan Hukum.

Apalagi karena dalam Pasal 5 j.o Pasal 6 Perma tersebut diatur mengenai hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh hakim dan hal-hal yang dilarang bagi hakim dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum, termasuk larangan hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum, termasuk didalamnya korban kekerasan seksual.

“Disamping itu karena jaminan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual tidak hanya dibebankan pada tahap persidangan di pengadilan, perlindungan hak korban baik hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan harus diakomodir dalam setiap tahap sistem peradilan pidana,” katanya.

Maka perlu ada suatu peraturan yang komprehensif yang menjamin terpenuhi hak-hak tersebut. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mendorong DPR untuk segera membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dalam rumusannya memberikan jaminan pemenuhan hak atas penanganan.

Termasuk didalamnya hak atas kerahasiaan identitas, hak atas perlindungan terkait dengan jaminan tidak disalahkan dan dituntut atas keterangannya dan juga hak atas pemulihan bagi korban kekerasan untuk dapat melanjutkan hidup.

“Yang terpenting, rancangan undang-undang tersebut secara progresif memuat jaminan bahwa korban kekerasan seksual berhak untuk bebas dari pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan mengintimiasi korban dalam setiap tahap sistem peradilan pidana mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan, yang mana pengaturan ini belum pernah diatur dalam undang-undang sebelumnya,” ujarnya.(JR)

4 Comments

  1. Assalamualaikum Wr Wb
    Selamat Pagi…
    Saya EgiDifa Mahasiswa dari UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) saya tertarik dan ingin melakukan analisa/riset terhadap kasus tindak pidana pemerkosaan pada putusan Nomor 42/PID/2017/PT BJM, yang dimana saya mendapatkan info dari sinarkeadilam.com bahwasanya ICJR juga ikut meniliti kasus tersebut.
    Saya mendapatkan alamat email ini dari sekretariat ICJR yg berada di Pasar Minggu, jika berkenan dan di ijinkan saya ingin meminta waktu dan bertemu untuk mendiskusikan kasus pada putusan tersebut
    Trimakasih atas perhatiannya, besar harapan saya tentang balasan atau tindak lanjut dari email ini.
    Wasallam…

    1. Silakan. Boleh mengirimkan email dan nomor HP dan WA ke kami, untuk kami sampaikan ke ICJR. Terimakasih. (Redaksi)

  2. kasus ini para jpu/korban ngejui kasasi ga ya?
    soalnya saya mau jadikan putusan ini untuk skripsi tapin putusan PT nya blo BHT..

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di