Tiga tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dinilai sudah menjemukan dan membuat jenuh. Jika selama ini pemerintahan yang dipimpin oleh eks Walikota Solo itu sudah berlari, memang betul sudah berlari, tetapi berlari di tempat. Karena itu, perlu upaya sangat serius untuk melakukan koreksi terhadap pemerintahan Jokowi, karena banyak hal yang tidak sesuai dengan peradaban yang dianut Indonesia.
Pakar Kebijakan Publik Merphin Panjaitan menyampaikan, kinerja pemerintahan Indonesia kini tidak ada bedanya dengan yang terpuruk di era lalu. Meskipun dengan berbagai cara dipublikasi dan dikampanyekan tentang berbagai perubahan versi pemerintah, namun sesungguhnya tidak ada perubahan positif yang berarti.
“Kesuksesan demi kesuksesan yang diberitakan dan dijadikan sebagai perwacanaan publik itu malah tidak membuat masyarakat ini semakin sejahtera. Berbagai survei yang mengekspos adanya kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi ini adalah semu. Memang, dibanding pemerintahan terdahulu, dikatakan bahwa pemerintahan yang sekarang sudah berlari, bukan jalan di tempat lagi. Iya, berlari tapi berlari di tempat. Ini menjenuhkan. Saya kira, negeri ini perlu stop sejenak dan melakukan koreksi yang sangat serius terhadap pemerintahan ini,” tutur Merphin Panjaitan, ketika berbincang di Jakarta, Selasa (25/10/2017).
Lebih lanjut, Penulis Buku Peradaban Gotong Royong ini menjelaskan, ukuran kemajuan dan keberadaban sebuah bangsa dan negara diukur dari realitas alat yang dimiliki oleh pemerintahan dan masyarakatnya. Alat yang dimaksud bisa berupa non fisik dan juga fisik.
Dikatakan Merphin, dalam persfektif peradaban, alat yang dimaksud adalah demokrasi. Indonesia, kata dia, sudah memiliki alat politik yang demokratis.
“Secara politik, sebagai alat, Indonesia telah memiliki demokrasi. Ada penghargaan Hak Asasi Manusia (HAM), ada struktur dan lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis, di banding negara-negarara lain di dunia, Indonesia disebut sebagai salah satu negara paling demokratis saat ini. Itu adalah alat yang sudah dicapai negara ini,” tutur Merphin.
Selanjutnya, Indonesia pun harus mengukur diri dengan alat yang berbentuk fisik. Menurut Merphin, alat-alat yang dimiliki oleh Indonesia hari ini sudah tertinggal 20 tahun, dan sudah kian kuno.
Semisal, alat produksi, seperti industri dan teknologi mesin. Menurut dia, alat-alat itulah yang menjadi ukuran bahwa sebuah negara bangsa telah maju dan berubah kian baik. Nyatanya, di era Jokowi ini pun Indonesia tidak memiliki alat produksi sendiri.
“Hampir semuanya dihutang dan dibeli dari negara lain. Mesin dibeli dari negeri orang lain, teknologi dibeli dari negara lain, peralatan dan perlengkapan untuk membangun infrastruktur juga dibeli dari negara lain. Itu semua bukan milik kita, Indonesia terus-terusan dibuat ketergantungan dengan negara lain,” ujarnya.
Sebagai tawaran solusi atas berbagai persoalan bangsa dan negara ini, Merphin Panjaitan menawarkan pendekatan Demokrasi Peradaban. Dia menegaskan, peradaban itu harus berkenaan dengan alat. Alat itu, lanjut dia, harus difahami sebagai kepemilikan sendiri, bertujuan mengembangkan diri dan sumber daya yang dimiliki negeri sendiri, mengurangi ketergantungan kepada bangsa lain, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi buatan sendiri, mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam sendiri.
“Itu harus kita miliki sendiri, dan itulah untuk meningkatkan peradaban kita sendiri. Tidak seperti sekarang, apa-apa dari luar, beli dari luar, ketergantungan kepada pihak luar, dan malah mencipatakan image seolah-olah miliki sendiri tidak mampu dan tidak berdaya guna.Ini aneh. Berhentilah dulu, ini perlu koreksi yang sangat serius loh,” tutur Merphin.
Dia menantang pemerintahan ini untuk membuktikan bahwa Indonesia memiliki banyak hal yang sangat penting untuik dikelola dan dikembangkan sendiri sebagai alat untuk mencapai peradaban yang tinggi.
“Dengan apakah sebuah negara dan bangsa diukur peradabannya tinggi? Ya dengan alat dan kepemilikan sendiri,” ujarnya.
Merphin mencontohkan, untuk teknologi pembuatan mobil saja Indonesia malah bersengaja bergantung kepada orang-orang asing. Padahal, di Indonesia sendiri banyak anak-anak bangsa yang sudah membuat mobil yang canggih-canggih, Sumber Daya Manusia yang mumpuni, Sumber Daya Alam yang melimpah, modal yang kuat, pangsa pasar yang besar, kok malah dibiarkan dari negeri lain mobil masuk ke Indonesia.
“Tiap hari jalanan kita macet dengan mobil berbagai rupa hilir mudik. Apakah itu milik Indonesia? Dibuat oleh Indonesia? Kan tidak. Apakah Indonesia mampu bikin mobil? Sudah banyak para insiniur dan sarjana teknik yang melakukannya, ternyata bisa. Tetapi mengapa tidak dikembangkan sebagai alat kita sendiri?” ujar Merphin.
Demikian pula dengan proyek Kereta Api, menurut Merphin, kereta api yang ada di Indonesia ini, sampai saat ini, tak satu pun yang dibuat oleh Indonesia sendiri. Semua kereta api adalah buatan orang luar, dan bahkan Indonesia tidak malu membeli kereta api bekas dari luar negeri lalu menjadikannya kebutuhan di dalam negeri.
“Semua kereta api itu peninggalan asing, dan kini juga membeli dari negeri asing. Bukan punya kita. Termasuk, proyek kereta api cepat yang sedang dipersiapkan pemerintah, itu dari luar semua, bukan Indonesia yang bikin. Bisa enggak kita bikin sendiri? Ya bisa,” ujarnya.
Demikian pula dengan kebutuhan akan satelit, menurut Merphin, Indonesia memiliki banyak pakar dan para insiniur yang mampu membuat satelit. Namun, malah pemerintah sibuk dengan mencari keuntungan sendiri. Bagi Merphin, pemerintahan yang hanya mampu membeli semua peralatan dari luar, termasuk mengimpor tenaga kerjanya, dan berhutang untuk pembangunan yang dilakukan, sama saja dengan pemerintahan yang tidak bisa ngapa-ngapain alias memiliki peradaban yang sangat rendah.
“Makanya saya mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah ini pun berlari di tempat kok,” ujarnya.
Demikian pula sektor kesehatan dan obat-obatan. Anehnya, menurut Merphin, Indonesia malah gandrung mengimpor bahan obat dan makanan dari luar negeri, padahal itu semua banyak di Indonesia. Jika dikarenakan ada mafia atau memberikan kersempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk mengelolanya, menurut Merphin, maka Jokowi harusnya tegas agar dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, BUMN memiliki tanggung jawab untuk rakyatnya sendiri.
“Dan bikin kebijakan ketat, agar pro kepada rakyat. Para pejabat yang mencari keuntungan pribadi harus dihukum berat,” ujarnya.
Dia mengingatkan Jokowi agar mempergunakan alat peradaban yang baik. Yakni membuat kebijakan yang pro kepada peradaban Indonesia, yang mempergunakan tenaga Indonesia, pikiran Indonesia, sumber daya Indonesia, dan semua yang dimiliki Indonesia diutamakan untuk Indonesia.
“Boleh meminjam ke orang luar, tetapi tidak semua. Saya bilang 90 persen itu harus punya kita, nah 10 persen bolehlah minjam dari luar. Nanti lama-lama seratus persen harus kita sendiri yang memiliki dan mengembangkan dan juga mempergunakan sendiri. Jangan ketergantungan kepada pihak luar lagi,” katanya.
Dia menjelaskan, dengan melihat kebutuhan dalam negeri, seharusnya pemerintah mengutamakan alat-alat dan potensi sendiri. Termasuk tenaga kerja, yang saat ini banyak pengangguran, bukan karena ketidakmampuan orang Indonesia, tetapi karena para pejabat dan kebijakan yang dikeluarkan malah mengedepankan orang luar dan kepentingan orang luar yang didahulukan masuk ke Indonesia.
Bagi Merphin, dengan melakukan pembangunan alat dan teknologi milik sendiri, maka banyak keuntungannya, antara lain akan menyerap tenaga kerja sendiri, memperoleh keuntungan besar dan penghasilan yang tinggi bagi rakyat sendiri, yang pada akhirnya memberikan pendapatan yang besar bagi negara ini.
“Saya memprediksi, jika dimulai dengan sendiri, maka lima tahun sudah kelihatan hasilnya. Milik sendiri, pengembangan ilmu dan teknologi sendiri, kedaulatan sendiri, berguna untuk masyarakat sendiri dan nanti bisa mengatur negara lain karena negara lain akan membutuhkan produksi kita,” ujarnya.
Dia menekankan, peranan BUMN harus diperbesar dan harus mengabdi kepada kebutuhan dan pengembangan rakyat sendiri. Jika memang harus berhenti dulu demi memberikan ruang dan kesempatan rakyat sendiri untuk mengembangkan alat, lanjut dia, maka hal itu harus dilakukan.
“Kembangkan alat sendirilah. BUMN kita harus berpihak kepada rakyat. Itu soal kebijakan saja. Soal kebutuhan modal, ya subsidi sudah dikurangi, bahkan rakyat mau kolekan untuk memodali negara dan pemerintahan ini. Pastikan modal itu dikelola untuk rakyat sendiri dan mengembangkan untuk Indonesia,” ujarnya.
Saat ini, Merphin Panjaitan mengingatkan, ada dua aspek utama yang harus ditekankan dalam pembangunan peradaban Indonesia, yaitu aspek sejarah dan aspek ilmu pengetahuan teknologi.
“Mengapa sejarah? Sebab, saat ini sudah lupa kita dengan sejarah sesungguhnya. Sejarah itu penting, agar sesuai rel dan dalam cita-cita Indonesia,” ujarnya.
Merphin mencontohkan, pemerintahan Jokowi kali ini pun tidak membuat sesuatu yang membanggakan sebagai bukti majunya peradaban Indonesia.
“Saya ingat dulu, di zaman Bung Karno, semua sarjana-sarjana dan insiniur-insiniur dikumpulkan, ide-ide mereka diorganisir dan diwujudkan untuk peradaban Indonesia. Padahal, waktu itu Indonesia lagi susah-susahnya, lagi banyak orang miskin, tetapi dengan kerja-kerja itu, masyarakat terserap bekerja. Lihatlah, semua peninggalan arsitektur hari ini adalah pengerjaannya diera Soekarno, seperti Monas, Bundara HI, Semanggi, Sarinah, Gedung MPR/DPR, Mesjid Istiqlal dan banyak lagi. Itu masih di era Soekarno. Lah, yang sekarang apa? Jembatan dibangun pun beberapa bulan berikutnya sudah rubuh,” ujarnya.
Karena itu, Merphin menyarankan agar Pemerintah mempergunakan Demokrasi Perabadan Gotong Royong untuk membangun dan sebagai solusi untuk memajukan Indonesia.
“Saya kira, peradaban gotong royong inilah solusi untuk Indonesia. Maka saya katakana, stop dululah, kita perlu melakukan koreksi serius terhadap pemerintahan ini,” pungkasnya.(JR)