Kalangan aktivis menyebutkan, komitmen Presiden Joko Widodo untuk menurunkan emisi 29 persen pada tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sangat sulit diwujudkan. Alasannya, trend emisi gas rumah kaca (GRK) masih bussiness as usual meskipun ada intervensi melalui tindakan mitigasi perubahan iklim. Apalagi pendekatan dalam rencana aksi NDC Indonesia masih memberi ruang lebar bagi keterlibatan korporasi perusak lingkungan.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yuyun Harmono, mengatakan keadilan iklim tidak akan terwujud jika upaya yang dilakukan merupakan solusi palsu dan tidak menjawab persoalan mendasar dari perubahan iklim itu sendiri, yakni paradigma pembangunan yang salah. “Tanpa keberanian mengoreksi paradigma pembangunan, maka target penurunan emisi tidak akan tercapai,” ujarnya di Jakarta, Jumat (13/10/2017).
Pihaknya menyoroti, rencana aksi NDC di sektor kehutanan dan lahan, yang masih menempatkan REDD+ sebagai solusi deforestasi dan degradasi lahan, serta melibatkan korporasi perkebunan kayu dalam upaya penurunan degradasi lahan. “Rehabilitasi 12 juta lahan pada tahun 2030 juga yang masih menyertakan peran serta korporasi,” ungkapnya.
Yuyun menilai, REDD+ tidak mampu menyelesaiakan persoalan tenurial akibat kebijakan pemberian izin yang tidak terkontrol kepada korporasi baik pemegang ijin hutan tanaman industri (HTI), sawit maupun tambang. Korporasi tersebut mengusai sebagian besar lahan dan menyebabkan deforestasi dan alih fungsi lahan.
“Tanpa melakukan koreksi mendasar terhadap persoalan tenurial, REDD+ tidak akan mampu menyelesaikan persolan di sektor kehutanan dan alih fungsi lahan,” ujarnya. Selain itu, pendekatan REDD+ yang sifatnya proyek hanya menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk mengejar pembiayaan tanpa melakukan perubahan kebijakan di tingkat daerah dalam hal perencanaan pembangunan yang rendah karbon.
Di sektor kelautan, skema dagang karbon di darat diadopsi untuk laut, dimana pemerintah sedang mengusulkan karbon biru yang merupakan solusi palsu perubahan iklim. Di sisi yang lain, pesisir dan laut tidak dilihat dalam konteks kerentanan dari dampak perubahan iklim, sehingga berbagai industri dan pembangunan justru menghantarkan wilayah ini dengan krisis baru, antara lain proyek reklamasi dan industri ekstraktif lainnya.
Hal yang sama terjadi di sektor energi, dalam rencana aksi NDC, batubara masih menjadi andalan pemenuhan energi nasional, meski dengan penggunaan teknologi clean coal atau ultra super critical (USC). “Tidak terlihat upaya serius untuk segera mengakhiri penggunaan energi kotor,” sebut Yuyun.
Penggunaan ‘teknologi bersih’ untuk tambang batubara dan PLTU batubara tidak akan mampu mengurangi emisi secara drastis. PLTU batubara dengan teknologi USC dengan kapasitas 2.000 Megawatt akan mengeluarkan emisi sebesar 10,8 juta ton pertahun.
“Penggunaan teknologi carbon capture juga tidak menjadi solusi karena akan menjadi mahal sekali dan belum terbukti secara operasional. Sementara upaya menghentikan dan phase out industri batubara dan beralih ke energi terbarukan tidak dilakukan,” katanya.
Sementara itu, Senior Manajer Iklim & Hutan World Resources Institute (WRI), Arief Wijaya, mengatakan Indonesia dapat mencapai target emisi dengan memperkuat kebijakan yang ada. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menetapkan beberapa target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah provinsi ke dalam target aksi iklim di tingkat daerah.
“Meski demikian potensi mitigasi karbon dioksida (CO2) dari kebijakan dan peraturan nasional di sektor lahan dan energi – termasuk kebijakan moratorium perizinan konsesi di hutan dan lahan gambut, restorasi lahan gambut, target bauran energi terbarukan, perhutanan sosial, serta rehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi — belum cukup untuk mencapai komitmen iklim Indonesia,” ujarnya.
Dengan beberapa pilihan penguatan beberapa kebijakan, seperti perpanjangan kebijakan moratorium hutan, restorasi tambahan lahan gambut terdegradasi seluas 4,6 juta hektar serta penerapan kebijakan konservasi energi, akan mampu mengurangi emisi karbon hingga 20 persen.
“Dengan penguatan kebijakan tersebut, emisi yang berkurang lebih besar dibandingkan dengan yang telah ada. Keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat membawa Indonesia mencapai target pengurangan 29 persen emisi,” katanya.(JR)