Beban perekonomian Indonesia tidak diatasi dengan cerdas. Bulan Oktober ini hutang negara Indonesia jatuh tempo, bersamaan dengan hutang sektor swasta yang juga jatuh tempo, kondisi perekonomian yang kian sulit malah membuat pemerintah mengambil langkah mudah dengan menyodorkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dijual.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean menyampaikan, hampir semua beban hutang itu kini ditanggungjawabi oleh negara.
“Semua itu menjadi beban secara total kepada negara, karena kegagalan swasta juga akan berdampak secara ekonomi kepada bangsa dan negara. Yang menjadi fokus perhatian adalah sejauh mana kesiapan Pemerintah, kesiapan BUMN dan kesiapan swasta dalam menjawab kewajiban tersebut?” tutur Ferdinand, di Jakarta, Jumat (06/10/2017).
Menurut dia, beredarnya surat Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dan Menteri ESDM terkait hutang PLN, dan gencarnya pemerintah menyampaikan niatnya menjual BUMN, anak usaha BUMN dan aset BUMN adalah bentuk nyata bahwa Pemerintah sedang tidak siap untuk menghadapi beban berat keungan yang sedang menerjang jantung keuangan negara.
Bahkan, lanjut Ketua Rumah Amanah Rakyat (RAR) ini, Presiden Jokowi, Menko Maritim Luhut Panjaitan, Menteri Keuangan tampak buntu dalam strategi dan langkah taktis dalam mengelola negara.
Bagi dia, pemerintah tampak tak mampu menciptakan pemasukan negara, sehingga memilih jalan terakhir menjual aset negara.
“Ini pekerjaan paling mudah memang dan tidak perlu menggunakan pikiran. Sekali lagi, menjual itu pekerjaan mudah, gampang dan cepat. Terlebih bagi pemerintah yang miskin kebangsaan dan miskin konsep kedaulatan menjual aset itu tentu tidak masalah. Bila kita bicara tentang konsep kebangsaan dan kedaulatan, menjual aset itu tentu akan memiskinkan kita sebagai bangsa,” tuturnya.
Bila kita bicara tentang konsep kebangsaan, maka Bangsa akan besar jika BUMN-nya memiliki banyak aset dan harta kekayaan, maka BUMN akan kontributif dalam perekonomian karena akan mampu bersaing secara secara global dan BUMN kita tidak hanya menjadi jagoan kandang.
Ferdinand mengingatkan, salah satu BUMN yang ekpansi keluar adalah Pertamina, ini patut didukung, tapi sayangnya, kebijakan pemerintah terhadap Pertamina justru akan melemahkan Pertamina dan menurunkan daya saing globalnya.
“Ujungnya, kerugian di depan mata, bukan keuntungan. Jadi tidak heran mengapa sekarang BUMN memasuki era merugi, itu akibat kebijakan Pemerintah,” ujarnya.
Ferdinand juga mengingatkan supaya negara jangan dikelola secara merugi. Menurut dia, peristiwa Mei tahun 2016 lalu ketika pemilik Pembangkit Listrik Tenaga Diesel di Nias, Sumatera Utara yaitu APR Energi yang memadamkan pembangkitnya karena PLN tidak mampu bayar kewajibannya kepada APR Energi. Yang korban adalah rakyat.
Tentu bahaya yang sama akan terjadi bila kemudian aset-aset PLN seperti Pembangkit kemudian dijual untuk memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo dan beban keuangan akibat proyek Listrik 35 Ribu MW yang tidak menghitung skala prioritas dan skala kebutuhan. Resiko pemadaman itu bisa muncul kapan saja ketika PLN tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena Pembangkit dibangun bukan milik PLN, dan yang milik PLN mau dijual.
“Haruskah kita korbankan kedaulatan untuk sebuah mimpi berlebih dari pemerintah tentang infrastruktur?” ujarnya.
Hal yang sama tentu akan terjadi kepada BUMN lain seperti Pertamina, Jasa Marga, BUMN Karya dan lain sebagainya jika diperintahkan menjual asetnya.
Lantas, Ferdinand mempertanyakan, untuk apa kita selama ini membangun jika harus dijual? Lantas untuk apa ada pemerintah yang sekarang jika hanya mampu menjual yang sudah dibangun oleh pemerintah masa lalu?
“Ironisnya, pemerintah ini bahkan gencar menuding masa lalu tidak melakukan apa-apa dalam infrastruktir, tapi faktanya sekarang yang mau dijual itu adalah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah masa lalu,” ujarnya.(JR)