Di masa pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan, kondisi perekonomian juga terancam resesi berat. Nelayan menjadi salah satu sektor yang mengalami dampak buruk.
Jika pemerintah memiliki formula yang efektif untuk memutar roda perekonomian nelayan, maka nelayan akan mendukungnya.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Siswaryudi Heru menyampaikan, nelayan tidak neko-neko dengan pro kontra yang terjadi seputar Omnibus Law.
Jika memang sektor nelayan bisa bangkit dan perekonomian dipulihkan, maka nelayan mendukung regulasi seperti Ombibus Law itu.
“Yang penting Nelayan mengharapkan adanya segera investor yang masuk ke Indonesia, dan pembeli dari luar juga membeli hasil tangkapan nelayan kita, ya masa sih Omnibus Law tidak didukung. Kalau itu untuk membangkitkan perekonomian Nelayan kita, nelayan pastinya mendukung Omnibus Law,” tutur Siswaryudi Heru, di Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Siswaryudi Heru yang juga Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Pengurus Pusat Dewan Ekonomi Indonesia Timur (DEIT) mengharapkan, Pemerintah melalu Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP), untuk memastikan adanya kemudahan dan pemulihan perekonomian nelayan Indonesia.
Terlebih, lanjut Siswaryudi Heru, di masa pandemi ini, sebenarnya tidak sedikit tangkapan nelayan yang menumpuk. Namun, dikarenakan tidak ada pembeli, dan masih takut-takut investor masuk, menyebabkan tangkapan nelayan terbengkalai dan bahkan tidak memiliki manfaat ekonomi bagi nelayan itu sendiri.
Siswaryudi Heru yang juga Wakil Ketua Komite Tetap (Wakomtap) Hubungan Antar Lembaga Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ini mengatakan, nelayan juga memperhatikan sektor-sektor dan pasal-pasal yang tertera pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang merugikan dan menguntungkan bagi nelayan.
“Nah, pasal-pasal yang terdapat di Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan kemudahan berusaha bagi nelayan Indonesia, serta untuk membeli tangkapan nelayan, pastinya kita dukung dong,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Edhy Prabowo mengklaim Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja merupakan regulasi yang ditunggu-tunggu pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan.
Dengan kemudahan perizinan, Edhy berharap keberlanjutan usaha semakin terjamin dan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat.
“Kepastian usaha mereka, kepastian perizinan mereka. Jadi dengan Omnibus Law, ini yang ditunggu-tunggu,” ujar Edhy dalam keterangan tertulis, Jumat (09/10/2020).
Sebelumnya, saat jumpa pers bersama sejumlah menteri lain di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pada Rabu (7/10/2020), Edhy mengaku senang dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja, lantaran pekerjaan rumah bagi dirinya sedikit berkurang.
Menurut Edhy Prabowo, Undang-Undang Cipta Kerja memangkas panjangnya rantai birokrasi terhadap kegiatan yang ada di sektor kelautan dan perikanan.
Edhy mencontohkan tentang zonasi laut yang mana cukup satu pintu. Hal ini berbeda dengan sebelumnya yang mengharuskan adanya persetujuan dari banyak kementerian.
Edhy mengambil contoh kebijakan lain seperti perizinan kapal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang akan menguntungkan para nelayan.
Demikian juga dengan kepastian usaha dan kepastian perizinan para nelayan, menurut Edhy, akan lebih terlindungi dengan adanya UU Cipta Kerja.
Edhy mengatakan para nelayan juga tidak perlu lagi khawatir akan dikriminalisasi dengan adanya UU Cipta Kerja tersebut.
KKP menilai UU Cipta Kerja memberikan kestabilan dan keberlanjutan usaha perikanan, baik di perikanan tangkap maupun budidaya.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, KKP, Trian Yunanda menyebut kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja sesuai dengan semangat percepatan dan efektivitas pengurusan izin.
Trian menyebut, sebelum undang-undang ini disahkan, KKP sudah menginisiasi perizinan cepat melalui sistem informasi izin layanan cepat (SILAT).
“Sebelum adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini, kita memang sedang mempercepat izin untuk mengakomodir pelaku usaha dan menggerakkan perekonomian,” kata Trian.
Trian melanjutkan, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja semakin melegitimasi percepatan perizinan tersebut. Sekaligus menegaskan komitmen pemerintah untuk memudahkan dan mendukung pelaku usaha. Selain itu, aturan ini juga mengintegrasikan perizinan kepada satu lembaga.
“Dari segi konstruksi hukumnya percepatan izin didukung regulasi yang lebih tinggi, ini yang bikin stabil dan mengikis ego sektoral yang justru menyusahkan pelaku usaha,” jelasnya.
Trian memaparkan, SILAT sendiri berhasil memangkas waktu proses perizinan perikanan tangkap yang awalnya 14 hari menjadi 1 jam.
Bahkan, lanjutnya, proses pengurusan izin sudah bisa dilakukan secara online dengan mengunggah seluruh berkas kelengkapan dokumen melalui e-service.
Apabila berkas sudah terverifikasi, notifikasi surat perintah pembayaran akan muncul selanjutnya konfirmasi pembayaran akan masuk ke sistem secara otomatis dan pelaku usaha dapat mencetak dokumen perizinannya secara mandiri.
Trian mengatakan, sejak 1 Januari hingga 30 September 2020, SILAT telah menerbitkan sebanyak 1.787 SIUP, 4.041 SIPI dan 286 SIKPI. Total penerimaan negara bukan pajak dari proses perizinan tersebut mencapai Rp 454,131 miliar.
Direktur Produksi dan Usaha Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Arik Hari Wibowo menyebut izin tambak budidaya kini sudah satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Sebelumnya, pelaku usaha harus melengkapi 21 izin dari berbagai instansi baru boleh melakukan usaha. “Jadi sudah satu pintu di BKPM untuk izin budidaya udang,” kata Arik.(JR)