Pemerintah Babakbelur Tangani Covid-19, HIPMI Bali Sarankan Langkah Ekonomi

Pemerintah Babakbelur Tangani Covid-19, HIPMI Bali Sarankan Langkah Ekonomi

- in DAERAH, EKBIS, NASIONAL, PROFIL
434
0
Pemerintah Babakbelur Tangani Covid-19, HIPMI Bali Sarankan Langkah Ekonomi. Foto: Ketua Bidang Perdagangan Perindustrian dan BUMN Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bali (HIPMI Bali) Agung Bagus Pratiksa Linggih. (Istimewa).Pemerintah Babakbelur Tangani Covid-19, HIPMI Bali Sarankan Langkah Ekonomi. Foto: Ketua Bidang Perdagangan Perindustrian dan BUMN Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bali (HIPMI Bali) Agung Bagus Pratiksa Linggih. (Istimewa).

Hingga kini, pemerintah dinilai babakbelur dalam penanganan pandemic Virus Corona atau Covid-19. Terutama dalam langkah menekan anjloknya perekonomian Indonesia.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Provinsi Bali (HIPMI Bali) menawarkan sejumlah langkah penanganan perekonomian yang kian terpuruk di tengah pandemic Covid-19.

Ketua Bidang Perdagangan Perindustrian dan BUMN Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bali (HIPMI Bali) Agung Bagus Pratiksa Linggih menyampaikan, beberapa masukan yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR, untuk menangani kasus Covid-19 ini.

“Kami melihat Pemerintah kurang efektif dalam menangani kasus Covid-19. Karena masih memakai kebijakan cyclical dan Conventional Playbook untuk memerangi kasus yang merupakan structural threat untuk ekonomi kita,” tutur Agung Bagus Pratiksa Linggih, Kamis (10/04/2020).

Dia menjelaskan, perlu disadari bahwa bagian signifikan ekonomi Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berjumlah 99.99% dari total kurang lebih 64 juta usaha di Indonesia. UMKM juga mempekerjakan sebesar hampir 117 juta orang di tahun 2018. Dimana 107 juta orang bekerja untuk usaha mikro.

“UMKM juga penyumbang mayoritas untuk PDB Indonesia. Sehingga bantuan langsung untuk UMKM adalah perhatian mendesak agar usaha tetap hidup dan jumlah lapangan kerja bertahan. Dengan kebijakan kurang tepat sasaran, pengangguran akan meningkat drastic pasca Covid-19,” bebernya.

Kemudian, Linggih melanjutkan, perlu dipertimbangkan bahwa efek stimulus moneter di Indonesia sedikit lambat bahkan pada saat situasi normal. Bisa dibilang bahwa kebijakan moneter Indonesia adalah half glass empty karena capital movement dan lain sebagainya dipengaruhi oleh faktor eksternal.

“Dimana ketika krisis ada dilema untuk melakukan capital controls yang akan membuat kepercayaan investor berkurang ke depannya. Sehingga lebih baik stimulus fiscal,” ujarnya.

Linggih membandingkan dengan Negara lain. Untuk Amerika Serikat stimulus fiscal-nya mencapai 2 triliun dolar amerika atau sebesar 10 persen dari GDP.

Spanyol dan Prancis sebesar 200 billion EUR, Singapore 55 billion SGD (11% GDP), dan United Kingdom sebesar 90 billion GBP atau lebih besar dari stimulus 2008. Sedangkan di Indonesia baru di announce 22 billion (1.5 billion USD = 0.1-0.2% GDP).

“Yang sudah dibicarakan adalah realokasi anggaran yang tidak mendesak. Kemudian, budget deficit bisa dinaikkan. Karena semua negara sedang menaikkan deficit mereka. Jadi secara relative balance of payments-nya kalau dijumlahkan masih par,” jelasnya.

Kemudian lagi, lanjut Linggih, Indonesia masih bisa tidak pinjam uang ke International Monetery Fund (IMF) atau World Bank (WB) alias Bank Dunia dengan debt monetisation dan quantitative easing.

“Bank Indonesia bisa cetak uang untuk memberi hutang kepada pemerintah untuk bantuan langsung ke sektor yg terdampak Covid-19,” ujar Linggih.

Selanjutnya, dia menyarankan Helicopter Money untuk sektor yang terdampak secara langsung. Lakukan suntikan likuiditas di pasar keuangan, agar suku bunga tetap rendah demi mengurangi cost of debt ke BI. “Dan tidak terjadi bank run dari masyarkat yang butuh uang karena panic,” katanya.

Selain itu, Perpu untuk recovery bond harus segera terbit. Jika ada anggapan bahwa mencetak uang sama dengan inflasi, menurut Linggih total ekonomi sama dengan total spending. Dan total spending sama dengan  total money created  ditambah total credit created.

“Dengan situasi Covid-19, total kredit akan berkontraksi sehingga total money created bisa dinaikkan. Selama kenaikan uang terbit sebanding dengan penurunan total kredit, tidak akan terjadi inflasi,” ujarnya.

Perlu diingat, pemerintah Indonesia berhutang dengan BI. Jadi nanti agar utang pemerintah terhadap BI bisa terbayar dengan mudah, BI bisa melakukan quantitative tightening secara berkala. Dan ketika ada kesulitan membayar pemerintah, bisa refinancing ke BI. Selama prosesnya ditarik selama 10-20 tahun, efeknya bisa diminimalisir.

“Cara kedua adalah menaikkan inflasi secukupnya yang disebar selama 10-20 tahun. Sehingga nilai utang secara riil akan turun untuk meringankan beban pemerintah membayar utang,” ujar Linggih.

Kemudian, Pemerintah berhutang ke BI yang mengontrol inflasi dan suku bunga. Sehingga bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk membantu beban hutang. Di lain sisi, pemerintah harus memastikan bahwa uang pinjaman tersebut adalah untuk cash relief untuk keperluan emergency sehingga meminimalisir aliran dana keluar.

Dari sisi fiscal, lanjutnya, pemerintah bisa menaikkan sedikit pajak yang disebar jangka panjang (10-20 tahun). Panjangnya bergantung pada durasi hutang terhadap BI.

“Perhatian kita bukan ke seberapa besar hutang kita, tapi seberapa cepat dan agresif kebijakan yang bisa kita ambil untuk menyelamatkan populasi dan ekonomi kita. Kita harus menganggap bahwa wabah ini adalah kanker untuk negara kita dimana kita harus segera menyelesaikan secara dini daripada menunggu setelah terlambat,” tuturnya.

Terkait pemanfaatan cadangan devisa Indonesia yang berjumlah sekitar 120 billion USD. Sebesar 70-90 billion USD adalah untuk kebutuhan impor, membayar repatriasi utang dan bunga short term.

Sisanya sekitar 30-50 billion USD  itu rentan terhadap resiko capital outflow di bond market. Karena kepemilikan asing yang cukup tinggi di surat utang Indonesia  yakni antara 32-35% dari total outstanding bonds yang ada.

Kedepannya, jika devisa digunakan, resikonya adalah speculator forex akan menjual rupiah dan akan membuat nilai rupiah turun drastis serta memperburuk situasi yang ada.

“Pada intinya bond recovery yang harus dikeluarkan pemerintah itu berasal dari fresh IDR bukan dari forex reserve yang bukan milik kita,” tandas Linggih.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset